Wednesday, December 14, 2016

Pembunuh Yang Mewariskan Anjing Dari Dalam Kepalanya





#tantangannulis #bluevalley
Pada akhirnya pembunuh paling ditakuti itu mati karena patah hati. Begitulah akhir dari cerita ini. Sebagaimana cara yang umum dilakukan orang-orang untuk mengenang, aku akan menceritakannya padamu. Kisah tentang seorang pembunuh yang mencoba menjadi musuh Tuhan. Entah siapa namanya. Kejadiannya sudah terlalu lampau, terjadi pada saat tidak ada satu hal pun diberi nama, tulisan belum ditemukan, Adam dan kekasihnya bahkan belum turun ke dunia. Saat manusia barangkali masih berwujud kera seperti yang dikatakan dalam teori Darwin yang terkenal itu.
Cerita ini sebenarnya diabadikan pada kitab-kitab tua, dilukis pada tembok-tembok gua. Di atas gunung yang telah rata di tempat yang sekarang bernama Gurun Sahara. Gunung yang diratakan kaumnya karena katanya waktu itu gua-gua dalam gunung itu berdindingkan sesuatu yang berkilau begitu silau. Rupanya sudah sejak lama manusia silau oleh semua yang berkelip-kelip. Setelah gunung itu rata, yang tersisa hanya pasir dan debu yang tak bisa dibedakan. Lalu bagaimana aku bisa mengetahui semua itu dan menceritakannya padamu? Pembunuh itu datang seminggu penuh dalam mimpiku. Bercerita dengan air terjun berhulu pada matanya, lolongan yang menyedihkan keluar dari tenggorokannya.
“Kau menangis?”
Air terjun di matanya masih jatuh demikian keras. “Ada anjing di dalam kepalaku, dia kencing lewat mataku. Dan melolong lewat tenggorakanku.”
“Semua pembunuh memelihara anjing dalam kepalanya?”
Pembunuh itu duduk bersila, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang masih berlumuran darah, “Tidak, hanya di kepalaku. Pembunuh-pembunuh di jamanmu hanya memelihara tikus. Tikus-tikus yang mengerat leher orang lain dan lari menghilang ke dalam selokan. Pengecut.”
“Terdengar seperti politisi.”
“Ya, seperti politisi. Bahkan jika kau menghilangkan salah satu suku katanya mereka tetaplah pemelihara tikus.”
Aku terpingkal-pingkal menerjemahkan kata-katanya, sedang anjing-anjing itu masih kencing demikian deras dari kedua ceruk matanya.
Pembunuh itu berpesan padaku untuk tidak jatuh cinta. Menikah tentu saja hal yang berbeda, tapi jatuh cinta lain perkara. “Kau akan gila dibuatnya, lalu kau hanya akan mempunyai dua pilihan. Menjadi pembunuh sepertiku, atau dibunuh olehnya.” Begitu katanya.
“Aku tidak memelihara anjing dalam kepalaku.”
“Jadi kau politisi?” tanyanya.
Aku terdiam..
***
Aku adalah pembunuh. Lahir di keluarga pembunuh. Makan dan hidup dari hasil membunuh. Darah pembunuh sudah demikian kental mengalir di dalam tubuhku. Ayahku pemburu babi. Pembunuh babi. Kami tinggal di pinggir hutan yang jauh dari kota. Sejak masih dalam kandungan aku telah mendengar ayahku bercerita ia hidup tanpa rasa takut mati diterjang babi. Setiap mendengar cerita-cerita penuh keberanian itu, aku berenang ke bawah rahim ibu dan mengetuk pintunya. Tidak sabar untuk segera berlari dan mengikuti ayahku pergi berburu.
Saat aku masih merah, ayahku telah memperkenalkanku pada ajak-ajak, anjing hutan, yang dijinakkannya untuk menemaninya berburu babi. Aku diletakkannya di dalam kerumunan ajak, dan ajak-ajak itu mengendus-endusku, menggelindingkanku dengan moncongnya yang coklat kehitaman, menjilati tanganku. Aku meraung melolong-lolong seperti anjing dan ayahku tersenyum penuh kebanggaan melihatku saat bayiku itu. Setelah berumur belasan aku baru mendengarnya langsung dari ayah.
“Kau adalah tuan muda bagi mereka.” Kata ayah dengan mata berbinar.
Ayahku pembunuh babi gila. Ayah mana yang membiarkan anak bayinya dalam resiko dikoyak taring anjing hutan?
“Mereka lebih setia dari perempuan manapun di dunia. Jika satu saja berkhianat, maka gerombolannya akan mengoyaknya habis.” Ayah memegang pundakku dan melanjutkan, “Kau harus percaya pada mereka jika ingin menjadi pemburu babi hebat. Hanya mereka temanmu ketika berhadapan dengan babi besar di hutan gelap sana.”
Dan kalau sampai waktu itu mereka berkhianat, tetap saja aku akan mati bersama pengkhianat itu. Dengusku kesal pada ayah.
Cerita-cerita selanjutnya selalu mengenai hal yang sama. Tentang ayahku yang tanpa takut memburu babi-babi besar  di dalam hutan juga keluhannya tentang pengepul daging babi satu-satunya di kota yang memberi harga seenaknya. Mataku berbinar setiap mendengar sejarah luka-luka terjangan babi di sekujur tubuhnya.
“Yang di pahaku ini akibat terjangan babi sebesar sapi remaja. Taringnya sebesar lenganmu nak,” katanya menunjuk codet di pahanya, “kepalanya kuletakkan di bawah kaki ibumu dan membuatnya jatuh cinta seketika.”
“Tidakkah kau takut  mati diterjang babi sebelum melihatku lahir ke dunia dulu?”
“Aku lebih takut kamu lahir sebagai babi. Sebab kalau itu terjadi mau tak mau aku harus memburumu. Ajak-ajak itu tak akan bisa membedakan antara anakku dan makanan mereka.” Katanya tertawa terbahak-bahak.
***
“Kenapa  kau tidur di depan toko? Kau lupa melipat rumah kardusmu?” Pembunuh itu bertanya padaku. Tentu saja di dalam mimpi.
Aku menggeleng, “Tikus-tikus membongkar rumah kami. Mereka akan membangun sarang tikus besar yang bertingkat-tingkat di sana.”
Tiga hari yang lalu rumahku memang dihancurkan oleh tikus-tikus itu. Mereka naik buldoser besar dan menghancurkan rumah kami. Dua hari setelahnya ibuku tak berhenti menangis. Hari ketiga air matanya kering dan tubuhnya panas, tapi ibuku bilang dia kedinginan. Wanita itu menggigil hingga badannya bergetar. Aku meletakkan koran bekas yang basah di keningnya. Tapi angin malam menggodanya dengan begitu tidak tahu diri hingga lebih kencang ia terguncang. Aku sudah melepas bajuku dan menyelimutkan padanya. Sia-sia, ibuku tetap menggigil hebat. Aku duduk meringkuk tanpa baju di sebelahnya hingga aku tertidur sebelum akhirnya bertemu lagi dengan pembunuh itu.
“Lalu untuk apa kaleng lem terbuka di sebelah tubuhmu itu?” Pembunuh itu bertanya lagi.
“Kau telah mengembara sekian juta tahun tapi tak mengetahui ramuan penahan lapar terhebat di dunia. Uangku hari ini hanya cukup untuk membeli sebungkus nasi untuk ibuku dan sekaleng lem untuk menahan laparku selama tiga hari.”
“Aku pembunuh, bukan penyihir,” katanya lagi, “Aku tidak pernah belajar tentang ramuan-ramuan.”
“Ceritakan padaku tentang ibumu.”
“Ibuku anjing betina yang berkhianat. Ia pergi dari rumah untuk menikah dengan babi dan mati dikoyak kawanannya sendiri.”
***
Ibu pergi ketika usiaku enam belas tahun. Aku dan ayahku tidak menemukannya  di rumah sepulangnya kami dari berburu babi. Ibuku menghilang beserta seluruh pakaiannya dan membuat ayahku limbung setengah mati. Ayah memungut kain lebar milik ibu satu-satunya yang ditinggalkan di dalam rumah dan menyodorkannya ke moncong ajak kesayangannya.
“Cari istriku!” begitu ayah berteriak pada anjingnya.
Anjing itu segera berlari menjauh dari rumah dan ayah berlari mengikutinya dari belakang. Ayah pergi selama seminggu dan pulang bersama anjingnya tanpa membawa ibu pulang ke rumah.
“Mana ibu?” tanyaku pada ayah.
Ayah masuk ke rumah tanpa mempedulikan pertanyaanku. Tepat di depan telingaku ayah berkata padaku, “Anggaplah ibumu sudah mati. Dia pergi untuk menikahi babi.”
Ayah masuk ke rumah dan keluar dengan golok di tangan kanannya. Ia pergi ke halaman dan mulai mengerat leher ajak-ajak kesayangannya. Anjing-anjing itu dikuliti, dipotong-potong seukuran telapak tangan lalu dagingnya dijemur setelah ditaburi garam. Entah apa yang dipikirkan ayah membuat anjing asin semacam itu.
“Mulai hari ini aku berhenti jadi pemburu babi.” Kata ayah setelah seminggu ayah hanya berdiam di rumah. Anjing-anjing asin itu cukup untuk makan dua bulan ke depan.
Pada hari ke empat puluh ayah keluar dari kamarnya. Menenteng golok dengan mata menyala seperti saat mengajakku berburu babi pertama kali. Sudah kuduga, pemburu babi tidak akan tahan terlalu lama berdiam tanpa pergi ke hutan.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Berburu babi,” katanya, “Kali ini kamu tidak boleh ikut. Pergilah ke hutan. Carilah ajak-ajakmu sendiri. Jinakkanlah mereka dengan tanganmu. Jadilah pemburu babi paling disegani.”
Ayah memberikan jubah kulit anjing, dan sebuah kalung taring anjing. Keduanya berasal dari anjing  yang dagingnya kami makan selama empat puluh hari ini.
Seharian aku  menunggu ayah pulang ke rumah tapi ayah tak pernah kembali. Esoknya, saat embun masih angin laut, aku masuk ke ujung hutan paling gelap. Menemukan ajak-ajakku sendiri, dan memenuhi takdirku sebagai pemburu babi.
***
Ini malam ke enam setelah pertama kali pembunuh itu datang dalam mimpiku. Pagi itu dengan muka sepucat susu ibu bercerita bahwa ia melihat pria berpakaian putih dengan tangan berlumuran darah. Dengan sungai mengalir deras dari ceruk matanya. Dengan suara melolong-lolong seperti anjing. Pria itu berdiri di belakangku.
“Aku meihat dewa anjing.” Kata ibu lagi.
“Tuhan tidak menciptakan dewa anjing,” balasku.
“Berarti sebentar lagi aku mati. Berarti dia malaikat maut, dia datang untuk menggigit leherku.”
“Malaikat tidak  menggigit. Dia datang untuk menjagamu.”
“Cukuplah kau yang menjagaku, nak.” Ibu tersenyum lalu terpejam. Koran di keningnya sudah kering.
Lekas aku meringkuk. Aku ingin segera bermimpi dan memaki si pembunuh karena membuat ibuku pucat pasi.
“Jangan menampakkan diri pada ibuku. Ibuku ketakutan!” entah darimana keberanianku menghardiknya. Barangkali karena ini mimpi. Aku tidak bisa dibunuh di sini.
Pembunuh itu tersenyum dengan hujan di matanya yang tak juga reda, “Hanya orang sekarat yang bisa melihat hantu, nak. Ibumu sekarat.”
“Malaikat harus mencabut nyawaku dulu sebelum berani menyentuh ibu.”
“Atau setelah menjemput ibumu barulah dia mencabut nyawamu.”
Sekali lagi. Sekali lagi dia bilang ibuku sekarat akan kubunuh dia sekali lagi. Aku akan jadi pembunuh hantu pertama di dunia.
“Aku butuh pertolonganmu.”
Beruntung baginya tidak mengatakan hal-hal tentang kematian ibu. Tanganku sudah terkepal begitu kuat ingin memukulnya dari tadi.
“Kutitipkan anjing dalam kepalaku padamu. Mereka tidak bisa mengikutiku masuk ke neraka.”
Sebelum sempat berkata apapun, anjing itu telah keluar dari kepala si pembunuh dengan proses yang membuat perutku mual. Aku berkali-kali mengais sisa makanan di tempat sampah restauran tapi tidak semenjijikkan itu. Moncongnya coklat kehitaman dan selalu basah, liur menetes dari lidahnya  yang menjulur-julur membuatku jeri sendiri. Matanya hanya satu tanpa sempat kutanyakan sebabnya pada si pembunuh. Dia menghilang begitu saja setelah anjing ini keluar dari dalam kepalanya.
Adegan yang terakhir kuingat sebelum terbangun hanya anjing itu melompat ke arahku begitu tinggi. Menerkam dan membuatku terjengkang jatuh. Dia menyusup ke dalam kepalaku melalui lubang hidungku.
***
Telah lima belas tahun aku menjadi pemburu babi. Telah lima belas tahun juga aku sebatang kara. Ayahku tak pernah kembali dan ibuku -yang hanya kudengar  dari ayahku, menikah dengan babi. Sepasang ajak yang kujinakkan, yang telah beranak pinak sebanyak dua puluh ekor, tidak mengubah statusku sebagai sebatang kara. Aku telah dikenal seluruh kota ini sebagai satu-satunya pemburu babi. Pemburu-pemburu yang dulunya teman ayah sudah terlalu tua, dan anak-anak mereka tidak sudi menjadi pemburu babi. Mereka sering memintaku datang ke ladang dan memburu babi-babi yang merusak tanaman mereka. Kadang juga dipanggil ketika ada berita-berita emas mereka yang hilang di dalam rumah.
Mereka tidak mempedulikanku yang terus berkata kalau babi tidak tertarik pada benda-benda menyilaukan mata itu. Tapi ketika mereka terus mempercayai bahwa babilah yang mencuri emas-emas mereka, pada akhirnya aku hanya terseyum. Toh aku cukup senang ketika mereka memberikanku sekantung emas saat kubawakan kepala babi ke hadapan mereka. Mereka senang, ajak-ajakku juga menikmati badan babi itu setelah kepalanya kupenggal putus. Transaksi itu bagiku cukup menguntungkan. Apalagi sejak aku tak lagi menjual daging babi pada pengepul satu-satunya di kota, daging babi jadi barang mewah di kota. Mereka cukup senang dengan kepala babi. Kepala itu cukup untuk membuat suatu perayaan sederhana. Harganya memang melonjak naik setiap perayaan, dan aku satu-satunya yang memiliki daging-daging babi di rumah.
Suatu pagi  yang masih berkabut, pagiku diganggu oleh kehadiran gadis yang mengetuk pintu rumahku. dia ingin membeli daging babi untuk merayakan hari kematian ayahnya. Seketika aku dibuatnya jatuh hati. Dan kali ini kuberikan dua kerat besar daging terbaik cuma-cuma padanya.
“Siapakah namamu gadis cantik?” tanyaku sebelum dia pergi meninggalkan rumahku.
“Aku anak janda pengepul daging babimu dulu.” Jawabnya sambil berlalu.
Seharian aku dibuat tak tenang oleh bayangan wajahnya  yang ayu. Matanya yang sayu, hidungnya yang mungil, juga kulitnya yang sewarna mentega. Dia benar-benar mengingatkanku pada ibu yang membuat ayahku jatuh cinta. Aku mengingat ayahku dan itu membuatku gembira. Pertama karena ternyata kami memiliki selera gadis yang sama, kedua karena mengingatnya membuatku menemukan cara mengambil hati gadis pujaanku itu.
Aku lekas pergi ke kandang anjing dan melepas sepuluh anjing terbaik untuk mengikutiku masuk ke dalam hutan. Sekeluarku dari hutan, aku membawa kepala babi sebesar sapi remaja dengan taring sepanjang setengah lengan. Sama seperti ayahku dulu. Aku datang ke rumah pengepul babi itu dan melihat gadis cantik yang sama memakai  gaun merah jambu berdiri di depan pintu. Kepala babi itu kuletakkan di bawah kakinya. Sama seperti yang diceritakan ayahku. Berharap gadis itu seperti ibuku yang kemudian jatuh hati.
Tapi gadis itu menggeleng.
”Ibuku tak mengijinkanku untuk menikah dengan pemburu babi. Kalau kau memaksa menikahiku,  masuklah dan temui ibuku.”
 Aku yang kepalang jatuh hati mengangguk dan mengikuti gadis itu masuk ke rumahnya. Gadis itu masuk lebih ke dalam dan memanggil ibunya.
Seorang wanita cantik keluar menemuiku. Kulitnya yang mulai keriput hanya sedikit mengurangi kemilau pahatan Tuhan yang begitu sempurna. Kecantikan yang diturunkannyalah yang membuatku begitu jatuh hati pada anak gadisnya. Kecantikan yanng tak bisa kulupakan. Wajah yang begitu kukenali.
“Ibu?”
Wanita itu terdiam lama sekali, sebelum dia mengeluarkan suara yang menyambar kepalaku, “Aku tak punya anak dari seorang pemburu babi yang membunuh suamiku!”
Saat itulah ajak-ajak itu masuk ke dalam kepalaku. Seketika aku melihat moncong babi tumbuh di hidung ibuku. Ekor babi bergoyang-goyang menggoda di antara pantatnya. Maka secepat angin anjing-anjing dalam kepalaku melesat dan menggigit leher wanita itu. Aku mendengar jeritan babi yang begitu pilu keluar dari moncongnya.
“Anjing yang berkhianat tak ada bedanya dengan babi. Takdirmu harus mati oleh kawananmu sendiri.” Kubisikkan itu di telinganya setelah tak kudengar lagi babi betina itu memekik dijemput kematian.
Aku merasakan sesuatu yang begitu panjang masuk melalui punggungku. Sesuatu yang kulihat menembus dada kiriku. Aku berbalik dan kudapati seekor babi mengenakan gaun merah jambu menguik dan berlari menjauh setelah menancapkan golok yang kubawa untuk memenggal kepala babi yang masih tergeletak di teras rumahnya.
Sepertinya  babi itu lupa, tidak ada babi yang lebih cepat dari anjing pemburu. Anjing dalam kepalaku melolong dan menancapkan taringnya hingga terdengar suara tulang leher babi yang patah. Babi itu menguik pilu direnggut maut. Anjing-anjing itu melolong panjang. Di dalam kepalaku.
***
Itu mimpiku yang terakhir tentang si pembunuh itu. Mimpi yang membuatku bangun dengan tubuh basah keringat dingin dan nafas tersenggal-senggal. Aku menoleh pada ibuku dan wajahnya masih sepucat saat melihat pembunuh itu di belakangku. Matanya kosong terbuka, kulihat bibirnya membiru dan lehernya koyak seperti digigit anjing. Aku menggguncang tubuhnya begitu keras dan tak kulihat perlawanan apapun. Aku melolong keras, melepaskan seluruh anjing dalam kepalaku.
Begitulah akhir kisah si pembunuh yang mati patah hati. Seluruhnya kuceritakan pada para polisi itu. Tapi tak ada satupun yang percaya padaku. Mereka mendekatiku dan kau tahu apa yang kulihat? Ada Tikus di atas kepala mereka.

nb:Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie

Wednesday, September 23, 2015

Aku terpaku beberapa Saat




Istriku sedang ada tugas ke daerah lagi dan aku akan kesepian lagi sebulan ke depan. Malang bagiku jadi lelaki rumah tangga. Sialnya, aku ini lelaki yang gampang tergoda jika tidak ada kegiatan sepanjang hari. Kau tahu lah godaan macam apa, tidak perlu kusebutkan. Biasa, Lelaki. Apalagi ini hari Sabtu, apalagi ada Alina, anak Bik Ijah, yang sudah menggantikan pembantuku itu sejak sebulan yang lalu. Gadis ranum di hari libur begini itu godaan hebat bagi laki-laki.
Jangan salah, aku ini lelaki baik-baik. Tergoda bukan berarti aku akan berbuat dosa. Tapi kali ini berbeda. Setan itu memang berengsek, waktu aku melewati kamar Alina, gordennya yang merah muda sedikit terbuka. Hal paling berengseknya adalah Alina sedang bercermin hanya menggunakan kutang dan celana dalam. Kutang yang menutupi sesuatu yang baru ingin merekah. Aku terpaku beberapa saat. Sialan.
Jangan salah. Aku ini lelaki baik, lho. Alina itu seumuran anakku. Kuketuk pintunya sekedar ingin mengingatkan Alina yang sudah kuanggap anak bungsuku itu.
Tepat pada ketukanku yang ketiga. Kau tahu Alina bilang apa? Kau tahu?
“Pintu tidak kukunci tante sayang, tidak jadi keluar kota? Asal kali ini tidak berisik ya, suamimu ada di ruang tamu.”
Aku terpaku lagi beberapa saat.
***
*ditulis untuk meramaikan Prompt #89 oleh Monday FlashFiction, jika ingin meramaikan silahkan berkunjung kemari.

Monday, January 19, 2015

Jasad-jasad yang Hilang






nanti, kalian akan mendengarkan syair-syair ini menguar dari dalam kotak hitam
agar kalian menemukan ingatan-ingatan untuk kalian kenang dalam kesedihan
maka agar ingatan itu nyata, kulantunkan di dalamnya seluruh kejadian
sebelum jasadku hilang dan tak bisa kalian temukan

di dalam pesawat itu,
aku melihat pramugari dengan keanggunan yang tampak begitu asing
berdoa dalam dekap kecup ibunya masing-masing
di sela-sela kepasrahan aku menyaksikan iman yang perlahan
tumbuh begitu menghutan, merambat cepat dirawat kematian

di dalam pesawat itu,
aku juga mendengar malaikat-malaikat bermain sangkakala
diantara manusia-manusia yang juga bermain-main sangka
ditiup begitu lirih, bernada sedemikian pedih
telingaku menikmati setiap repih, setiap serpih
seperti orkestra yang membuatku ingin menari

aku tak seperti orang-orang itu,
tak ada yang menanti, tanpa seorangpun yang mencari
bagiku tak perlu ada pemakaman yang harus dirayakan
tak ada perayaan yang perlu dimakamkan
jadi bukan masalah jika jasadku hilang dan tak bisa kalian temukan

aku seperti orang-orang itu,
mereka yang sendirian dan ingin dibiarkan menikmati kematian
biarkan kami menjadi makanan ikan-ikan kelaparan
sebab barangkali hanya yang demikian bisa dilakukan
untuk memerangi kemiskinan

aku mungkin juga orang-orang itu
sesekali ingin juga dirindukan, rindu juga diinginkan
barangkali sesekali aku akan menemuimu,
bersama asin garam dan anyir ikan
atau jika kau merindukanku,
pergilah pada sepanjang pantai landai
di sana aku dimakamkan bersama bangkai-bangkai kerang

nanti, kalian akan mendengarkan syair-syair ini menguap dari dalam kotak hitam
setelah para penguasa tak lagi merasa perlu mencari muka
maka lebih baik kukatakan sekarang
aku hilang dan tak ingin ditemukan.


Timika, 20 Januari 2015




Twitter Bird Gadget