Tuesday, December 10, 2013

MIJIL, Pada Malam Sebelum Sebuah Kepergian

" Gus,hidup itu tidak akan selalu menanjak ke atas, suatu kali dia akan jatuh perlahan bahkan bisa jadi dia terjun sangat kencang menghambur pada tanah liat dan memfosil."

Seorang teman masa kecil berkata beberapa hari yang lalu,satu kalimat yang membuat kembali pada sebuah cerita masa kecil, semua cerita yang diceritakan ibu, beberapa saat sebelum berangkat ke tanah timur Indonesia. Mungkin kamu pernah mengalaminya, mendengarkan dan merasa menjadi seseorang yang tidak terlihat dalam sebuah cerita. Mengikuti setiap alurnya, berada disana, mencoba berteriak memberikan larangan agar masa depan berubah, namun semua tokoh dalam cerita itu terus saja melakoni jalan cerita yang sama, tak akan ada yang mendengarmu. Berpeganglah pada satu hal. Berhentilah berandai-andai, jika memang semua tokoh itu menuruti apa yang kamu teriakkan, masa depan tak akan berubah menjadi sesuai keinginanmu.

Anak kedua dari tiga bersaudara, satu bayi perempuan cantik lahir pada tahun 1988, seorang lelaki, saya,lahir tahun 1990, dan adik lelaki bungsu dengan masa kecil bak selebritis papan atas di keluarga besar kami karena tingkah lucunya pada tahun 1996. Dibesarkan dalam sebuah keluarga sederhana dan jika kamu mau tahu, menjadi seorang anak yang lahir 17 bulan setelah kakak perempuannya menangis untuk pertama kalinya melihat dunia bukan hal yang mudah bagi seorang ibu pada saat itu, bahkan sebelum bayi kevil itu menangis pertama kali seperti sang kakak setahun sebelumnya. Dengan kondisi keluarga yang baru menyusun batu-batu pertama rumah tangga, dua anak dengan umur yang hanya berjarak satu setengah tahun di rasa akan sangat berat menurut nenek,merasa tidak diharapkan lahir ke dunia saat mendengar cerita tokoh yang ada namun belum ada di dalamnya terasa sedikit menyakitkan. Hal yang sama membuat saya berpikir bahwa bahkan saya benar-benar memulai kehidupan di dunia ini dalam keadaan terpuruk. Berjuta maaf saya sampaikan untuk ibu, saya tau tak sedetik pun ibu memikirkan hal yang sama.

Saya berpisah dari  rahim hangat ibu pada tanggal 07 Januari 1990, pukul 00.57 jika saya tidak salah mengingat jam pada akte kelahiran saya.  tidak seperti kakak dan adik saya yang gemuk putih dan berbagai deskripsi tentang bayi menggemaskan pada umumnya, semua yang di deskripsikan tentang saya jauh dari bayi yang lucu menggemaskan. Tidak, saya tidak gemuk saat lahir, tetap kurus, seperti sekarang. Hanya saja tanpa begitu banyak hal tidak penting yang sekarang saya pikirkan, jadi saya rasa keadaan saya ketika itu jauh lebih segar. Dengan kulit gelap dan mata bulat dan lebar, juga daun telinga saya yang kisutentah apa saya masih bisa dibilang lucu saat itu. Saya tidak bisa bercerita banyak, waktu itu saya hanya bisa menangis dan mencari air susu, Apa yang kamu harap akan saya ingat? letak air susu? Retoris saya rasa. Tapi jika dibandingkan dengan cerita tentang kakak saya yang hampir dibawa pulang oleh suster yang jatuh cinta padanya, atau adik bungsu saya, mungkin saya bayi yang paling menyebalkan di dunia,-hal yang membuat saya sedikit mahfum mengenai pendapat banyak orang yang mengatakan saya menjengkelkan. Ya, bawaan lahir saya rasa.

Tidak ada hal yang bisa dibanggakan pada masa balita saya, jauh dari kata " masa kecil luar biasa". Saya tidak pernah mau makan ikan. Bahkan udang dan kepiting selalu membuat saya muntah dari apa yang saya dengar. Wanita mana yang tidak khawatir akan perkembangan otak anaknya yang seperti itu, begitu juga ibu. Tubuh mungil saya juga sangat sensitif, hampir setiap bulan dokter langganan keluarga kami akan bertemu ibu karena saya jatuh sakit, dan dalam periode yang sama, saya pasti demam tinggi hingga kejang-kejang, orang jawa menyebutnya setep, dengan cara melafalkan "E" pertama seperti petani dan "E" kedua seperti kamu merapal efek. Antibiotik sangat akrab dengan tubuh kecil saya saat itu, banyak yang tersisa dari pengaruh obat kimia itu pada tubuh saya, gigi saya rapuh, akibat terlampau banyak melahap antibiotik. Dan karena sering demam hingga kejang itu juga, dokter dengan sangat kejamnya berkata pada ibu, memohon maaf dan meminta ibu tidak kaget jika nanti ketika dewasa perkembangan otak saya agak terhambat. Dokter berkata ada kemungkinan seringnya saya setep bisa berpengaruh pada perkembangan kecerdasan saya.satu hal lagi yang membuat saya menggangguk lemah mengerti, mungkin itu juga sebabnya saya sering melakukan hal bodoh, mungkin dokter itu benar.

Pemalu yang luar biasa, saya selalu berjalan di belakang ibu, mengait celana atau tangan beliau. Jangan pula coba-coba menggendong saya saat baru pertama kali bertemu jika tidak mau dibekuk polisi dengan tuduhan penculikan, saya pasti menangis sejadi-jadinya. Dan bagaimana perasaanmu jika menjadi saya saat pada akhir ceritanya mengenai hal itu ibumu berkata padamu sembari tertawa,
"setidaknya ibu ndak pernah takut kamu diculik pas kecil mas"
Boneka smurf kecil berwarna biru dengan topi putih yang (menurut saya)  keras, mungkin dia di adopsi dari sebuah pasar malam, tapi jika kalian ingin tahu, dia sahabat terbaik di dunia. Kuceritakan sedikit rahasia, dia bisa berbicara!!!!-setidaknya dalam pikiran saya yang bahkan saat itu belum dapat melangkah, ataupun berkata. Saya memeluknya setiap malam sebelum tidur,bagi tubuh saya yang kecil,dia tetap saja boneka smurf kecil, Tapi saya berhenti bermain dan ngobrol dengannya saat berumur belum dua tahun jika saya tidak salah ingat. Dari cerita ibu, saya baru melangkah pertama kali pada umur 20 bulan, dan mulai berbicara enam bulan kemudian. Bayi bodoh jika saya boleh menilai diri saya sendiri. saya menggigiti topi putih miliknya,dan bibir saya berdarah,sejak saat itu dia tidak pernah lagi terlihat,mungkin smurf kecil sahabat saya menangis dan pergi entah kemana setelah ibu memarahinya. Satu hal yang membuat saya marah padanya, bahkan dia pergi sebelum saya sempat mengucapkan terima kasih padanya.
  
Ada waktu saat kita tak saling menyalahkan, tak saling berprasangka, berpikir dengan sangat sederhana, dan melakukan semuanya tanpa berpura-pura. Ada masa dimana kita berbicara pada sebuah boneka, merasa berada di dalam sebuah mobil mainan dan berputar mengelilingi rumah raksasa, saat kita berbicara pada seseorang yang tidak pernah ada, tidur pada box dengan iringan lagu yang sama setiap malam, memeluk guling kecil yang km simpan hingga remaja. Tak ada salahnya kembali kesana dan mengingat semuanya saat ingin berucap dusta, saling mengiris hati, atau memeluk tubuh wanita yang tak pernah berhenti merekam semua jejak yang kamu tinggalkan.

sebuah potongan adegan dalam otak saya yang meloncat gembira,terbesit saat merasakan hangat pelukan wanita yang saya panggil ibu, pada malam sebelum meninggalkan rumah.

Friday, November 8, 2013

Catatan Satu Bulan

Jika mampu, ingin kutitipkan jemariku padamu barang sewindu, membiarkan mereka belajar menari pada tuts pemahat senyum wajah ayumu. Jika berkenan, jadilah guru bagi mereka, didik mereka sekeras-kerasnya, hingga saat mereka kembali, kuberikan kewajiban baru pada mereka untuk menari menghiburku, bahkan aku taka akan menyesali sedikitpun bila akhirnya peletak rasa menggeleng untuk menyandingkanmu bersamaku.

Atau setidaknya biarkan saja kita terus bertatap punggung, ingin rasanya aku mampu menghilang agar dapat memandangmu tanpa kamu sadari,melihatmu sedang tersenyum tanpa perlu memikirkan apa yang kau terka terhadap otak kosongku saat tak lepas lekat mataku, saat aku tersenyum melihatmu yang tak mengerti sebab melengkungnya sunggingan itu, aku suka wajah bingungmu. Andai aku bisa melukis, tentu da vinci akan tertunduk malu dalam peristirahatannya karena telah membanggakan monalisa begitu hebat saat menandingkannya dengan senyumanmu. Yang aku tau, aku hanya kehilangan satu hal cantik yang akan terlewatkan jika aku mampu menghilang, melihatmu malu-malu saat aku tak berhenti memperhatikan lakumu, tapi biarkan saja, sepadan rasanya.

Belum berubah,aku masih takut jika matamu melihat mataku saat melihat matamu, sebenarnya aku takut untuk saling bertatap mata denganmu, bahkan lututku terasa sangat mencintai bumi, berat sekali rasanya untuk membuatnya tetap berdiri menopang kakiku. Entahlah, mungkin gugup, beberapa perihal kegugupanku rasanya sudah pernah kuceritakan, aku takut menjadi terlalu mengagumimu, hal yang paling ku khawatirkan hanya menjadi tidak memahami keinginan sebenarnya untuk berada di dekatmu. Tidak sekalipun aku menyangkal bahwa alasan yang salah bukan hal yang mustahil untuk berakhir bahagia, mungkin hanya otakku yang terlalu matematis. Tapi kalkulasi yang entah darimana itu menghasilkan presentase duka yang terlalu besar jika ketakutanku dikabulkan Tuhan.

 Selamat pagi, kita berpijak pada bumi yang sama,menikmati sejuk angin yang sama, bermain-main pada rintik hujan yang sama, juga tersenyum pada matahari pagi yang sama, entah kenapa kamu jauh lebih mudah untuk melenakan mata, mengunci bibir dan mengelukan lidah saat tubuh tanah ini berdiri di depanmu. Bersamamu, aku lebih suka menatap matamu dalam-dalam,dan menikmati semua misteri disana, aku lebih suka mendengarkanmu bercerita mengenai tuts piano,gesekan biola,atau sekedar melihatmu memeluk adik laki-lakimu, teduh rasanya.

Aku melakukan sesuatu yang aku sendiri tak mempunyai alasan untuk melakukannya, tindakan bodoh, yang aku yakini tak membuatmu mempunyai alasan untuk jatuh cinta karena kebodohanku itu, Aku hanya mencoba membuatmu tersenyum, juga mencuri sedikit ruangan pada memorimu untuk mengingatku. Biar saja mereka tak mengerti, rasanya aku tak cukup peduli.

Kamu tentu tak mengerti apa hubungan dari setiap paragraf yang kubuat kali ini. Tentu saja,setiap paragraf kubuat saat aku mengingatmu, dan analisismu sungguh sempurna, bukan hanya sekali waktu aku mengingatmu, Setelah catatan pada telepon pintarku menghilang bersama dengan raganya, kuputuskan untuk menuliskannya disini, tak lagi pada gadgetku itu. Aku tak ingin catatanku tentangmu menghilang kesekian kalinya, sebelum kawanan kecil pengingatmu yang tersisa ini ikut menghilang, Kumulai kembali, kutuliskan pada suatu tempat, tentang aku, duniaku, dan semua hal yang mengingatkanku, yang tak perlu ku kirimkan padamu.

kepadamu yang mendekam dalam imajinasiku.

Timika, Denpasar, Surabaya,Jakarta,
4 Oktober- 9 November 2013,

Cahya Bagus Mandalukita


Sunday, October 6, 2013

Kepada Cinta Pertamaku

Bu, entah mengapa anak lelakimu ini menuliskan surat ini di sebuah jejaring sosial yang aku tau ibu tidak pernah membuat akun di jejaring sosial ini. Kalaupun ibu membaca surat ini, mungkin ibu membacanya dari akun milik mbak, atau adik, entahlah.. Mungkin anakmu yang sudah berkumis ini terlalu malu untuk mengatakan bahwa aku sangat menyayangimu.. Oh iya bu, kumisku sudah aku cukur, maaf aku tak mematuhi saranmu untuk mengguntingnya, mencukur lebih praktis menurutku.

Bu, hari ini, ketika mengerjakan tugas bahasa inggris yang kalau ibu tau ini sangat membosankan, tiba-tiba aku mengingatmu. Sms terakhir yang kukirim untukmu berisi tentang seorang anak yang hampir tidak mempunyai pulsa di telepon genggamnya, dan memintamu untuk membelikan pulsa untuknya. Memalukan ya bu, anakmu yang sudah besar ini, masih meminta pulsa padamu. Aku yakin ibu pasti tersenyum membaca smsku, dan sebenarnya aku menunggumu membalas smsku seperti biasanya,"kamu ini sms ibu kalo minta pulsa aja", entah mengapa aku selalu tersenyum membacanya. Bu, sebenarnya aku ingin sekali mengirim sms hanya berisi aku kangen, aku sayang ibu, aku kangen soto ayam buatan ibu, tapi aku malu melakukannya. Entahlah, maaf ya bu, anak jagoanmu ini pengecut, malu rasanya mengatakan bahwa aku sungguh2 merindukan suasana rumah.

Bu, Baru saja aku selesai latihan basket seperti biasa, tapi lututku yang cedera ringan setelah pertandingan kemaren makin sakit. Sedangkan tugas inggris yang membosankan tadi belum juga selesai karena aku pergi latian hari ini sebelum sempat kuselesaikan. Hari ini aku harus terjaga agak lama untuk menyelesaikannya dengan lutut yang sedikit membengkak, agak ngilu memang, aku ingin mendengar ibu memarahiku karena masih memaksa latihan dengan kaki yang cedera, aku ingin ibu mengatakan bahwa ibu tidak akan menghiraukanku jika sepulang latihan melihatku terpincang-pincang, walau akhirnya ibu tetap menyuruhku cepat istirahat dan mengambilkan makanan untukku.

Bu, aku akan tidur lebih malam hari ini. Sama seperti ketika aku di taman kanak-kanak dan ibu mengajariku membaca, masih jelas di ingatanku ketika aku tidak mengerti apa yang aku baca dan aku hanya menghapal gambar yang ada di buku "latihan membaca" dan dengan percaya dirinya menjawab dengan lantang ketika ibu menunjuk gambarnya dan menyuruhku membacanya. Sekali ibu tersenyum, dan terbongkarlah trik yang aku buat. Ibu tidak membolehkanku tidur sebelum bisa mengeja kata apel dengan benar, membiarkanku duduk  di meja belajar dengan lampu belajar tetap menyala, ya hanya lampu belajar, karena semua orang telah tidur. Aku terus berusaha mengingat ejaan apel sambil menangis dan pagi harinya aku terbangun di tempat tidurku. Sekarang lihatlah bu, anakmu tidak hanya bisa membaca, aku hampir menyelesaikan kuliahku.

Bu, aku ingin membuat pengakuan. Ketika di sekolah dasar, sering jika aku lupa meminta tanda tangan ibu untuk ulangan-ulanganku, aku menandatanganinya sendiri dengan meniru tanda tangan ibu. Bukan, bukan karena nilaiku jelek bu, ibu tentu tau semua nilaiku. Ketika itu aku berpikir, tidak penting siapa saja yang menuliskan tanda tangan yang penting ada tanda tangan ibu, sering pula aku membeli makanan ringan di sekolah yang dengan tegas ibu larang karena ketika itu aku pasti sakit ketika memakannya, jujur saja, makanan-makanan itu enak menurutku dan tidak butuh waktu lama untukmu mengetahuinya, karena tidak sampai seminggu aku pasti jatuh sakit,sering aku mati-matian mengatakan bahwa aku tidak membeli apa-apa. Ibu tetap membawaku ke dokter dengan segera, tidak perduli aku berbohong, tidak peduli berapa biaya yang harus ibu keluarkan. Aku yakin,ibu pasti tau kebohonganku. Maaf bu, waktu itu aku tidak pernah berpikir aku akan menyusahkan ibu dengan perbuatan konyolku, pun dengan bagaimana letihnya ibu mencari rupiah untuk menghidupiku.

Bu, ketika pulang sewaktu liburan kemarin ibu mengatakan bahwa hasil pemeriksaan menyatakan kemungkinan ginjal ibu mengalami gangguan, begitu besar syukurku ketika pemeriksaan kedua menyatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Sudah waktunya ibu beristirahat, mungkin ibu bekerja terlalu keras, ingin rasanya aku cepat-cepat menyelesaikan kuliah ini dan meminta ibu berhenti mengerjakan semua sampingan yang melelahkan itu, ibu harus membuat kue kecil untuk keesokan harinya sepulang kerja, karena gaji saja tidak akan cukup menghidupi kami bertiga. Ketika aku sekolah, ibu pergi ke kantor, ketika aku pulang ibu masih di kantor, ketika ibu pulang, ibu masih harus membuat kue, bahkan hingga sangat larut, dan ketika aku bangun pagi, ibu sudah bangun berjam-jam lalu, atau sering hanya tidur beberapa menit. Maaf aku hanya bisa membantu sebisaku. Aku berjanji, ketika aku pulang nanti, aku akan memijat kaki ibu setiap malam sebelum tidur.

Bu, aku tau betapa khawatirnya ibu ketika aku menginjakkan kakiku di sekolah menengah atas. Tapi aku selalu menganggap bahwa kekhawatiran ibu berlebihan, sering aku pulang terlambat, bahkan hingga lewat jam 10 di rumah seorang yang aku anggap spesial ketika itu hanya karena aku ingin menemaninya hingga ayah ibunya pulang ke rumahnya atau menemaninya belajar biologi, entah kenapa dia ingin mengerti biologi, padahal ketika itu aku tau dia sangat ingin masuk desain perhiasan, tidak masuk akal menurutku. Tapi ketika aku pulang, kamu hanya berkata, jangan lewat jam 9 kalo bertamu. Aku tau ibu ingin aku dianggap lelaki yang bisa menempatkan diri di depan orang lain, apalagi di depan orang tua seseorang yang aku anggap spesial ketika itu. 

Bu, aku sungguh minta maaf ketika kelas 2 ibu harus menahan malu karena ada dua nilai yang sangat buruk, nyaris aku tidak naik kelas. Itu murni kesalahanku. Satu-satunya hal yang membuatku bekerja keras ketika akan mencari perguruan tinggi adalah membuat ibu bangga, maafkan anak smamu ini bu,,

Bu, sebentar lagi anakmu ini menyelesaikan kuliahnya, aku sangat menantikan wisuda. Namun maafkan aku bu, mungkin ibu harus menunggu agak lama dan sedikit bersabar mendengar nama anakmu dipanggil, karena anakmu tidak masuk ke rangking tiga besar lulusan tahun depan, tidak seperti saat aku Sekolah Dasar dulu, bahkan seratus besar sekalipun. Aku harap ibu tidak kecewa harus datang jauh-jauh ke jakarta dan masih menunggu lama untuk mendengar namaku disebut. Aku ingin ibu menciumku dan menggumamkan sesuatu padaku, yang pastinya doa terbaik untukku, mau kan bu?

Bu, jika aku tuliskan semua kesalahanku padamu, dan menuliskan semua maafmu untukku, tidak akan cukup malam ini aku merangkumnya. Aku merindukanmu bu, sungguh.

aku sayang ibu,,

Tulisan di atas saya buat pada 2011, 8 bulan sebelum saya wisuda, dengan judul "tulisan yang seharusnya dikatakan". Sekarang, saat makin jauh kita berada, bahkan jam di rumah kita saja tak menunjukkan angka yang sama, saya makin merindukanmu.

anakmu, untuk cinta pertamaku..


Cahya Bagus Mandalukita

Friday, September 20, 2013

Lelah

"Kamu ndak salah nduk."
Cuma itu yang ada di otak dangkalku saat aku berkali-kali jatuh, terluka lagi-lagi saat melewati jalan yang sama. Benci yang kamu rawat dengan begitu subur, hal yang bertunas karena kutanam dengan tak sengaja pada hati malaikat kecilku, balik mencengkram begitu kuat pada setiap laku bidak yang kuputuskan. Dosa yang kubuat tak akan pernah tertebus bahkan dengan tapa barata arjuna yang mengguncang kahyangan barata guru. Maafkan aku nduk, kamu punya banyak hal yang lebih penting daripada untuk membenci hati renta sepertiku. Berkali-kali aku merapal maaf, semoga suatu saat kamu mengamini.

Aku  tidak pernah memikirkan darimana kekuatanmu untuk berkata-kata. Hanya satu yang aku tau, semua kata penuh benci yang kudengarkan, karena kesalahanku. Bahkan saat aku merasa kamu salah pun aku pasti memikirkan bagian kesalahanku. Pernahkah kamu mendengar aku menyalahkanmu atas semua ini, nduk? Maafkan aku nduk jika ternyata pernah, lututku pun akan kurendahkan sampai tanah agar kamu memaafkanku. Sampai saat ini, aku masih terus menahan jariku, saat ingin kutuliskan "maafkan aku sayang", entah kenapa aku begitu yakin kamu akan makin membenciku, aku tak bisa merasakan bencimu lebih dari ini. Biar saja kata-kata itu tak pernah sampai padamu, semoga Tuhan masih berkenan meletakkan maaf yang sama pada hatimu.

Jangan salah paham nduk, aku sudah berhenti mencoba memaksamu untuk kembali bersamaku. Sudah cukup lama aku memutuskan berhenti memaksakan apa yang bukan kehendakmu -yang aku sudah aku sadari bahwa akan membuatmu makin membenciku-. Tapi maaf nduk, aku ndak bisa mengangguk untuk permintaan yang kamu sampaikan padaku tempo hari. Tak akan kutuliskan disini apa yang kamu minta kulakukan, cukup aku dan kamu yang tau. Mereka yang tak pernah tau apa yang terjadi pada kita benar-benar menjadi belatung yang menggerogoti bangkaiku. Aku tak suka mereka menghakimi apa yang terjadi pada kita, entah itu tentang kamu, atau tentang kejatuhanku. Bahkan mereka tak juga memahami saat berkali-kali kuucapkan ini kesalahanku pada awalnya. Akhir sebuah lagu selalu bermula dari intro, aku yang memainkan melodi intro itu, bukan kamu.

Begitu juga dengan alasan otakku menolak untuk mengamininya,sudah kujelaskan kepadamu, pada pesan yang hingga saat ini belum kamu baca, mungkin namaku sudah kamu masukkan pada kotak sampah di contact milikmu, yang walupun kamu baca, aku yakin kamu tetap menganggapku bocah. Maaf nduk, aku ndak bisa. Aku merasa menjadi orang lain saat mencoba melakukannya. Jika aku harus menjadi orang lain untuk menjadi seseorang yang kamu cintai, mungkin kamu sudah menemukan sosok yang kamu cintai, yang membuatmu menginginkan aku sesempurna dirinya. Dari awal aku berharap kamu mencintaiku, bukan mencintai sosok yang kamu cinta.

Ndak tau, aku bener-bener ndak tau, apa memang kamu sudah ndak sayang sama aku waktu kamu mulai membenciku, hal yang menurutku aneh nduk, mungkin aku cuma belum tau cara untuk melakukan hal yang sama, entahlah. Tapi yang aku tau nduk, saat kamu memilih membiarkan perihal itu meringkuk di hatimu,maka dia akan tetap disana, saat semuanya berakhir,dia akan tetap ada disana, mungkin nyalanya mengecil, tapi dia ada nduk, jika kamu berkata dia mati, kamu pasti berbohong nduk. Jika memang bencimu lebih besar, lakukan saja nduk. Apa yang aku bicarakan ndak bohong, aku ndak mengharapkan hubungan kita kembali seperti dulu, aku ndak pernah ngomong dia mati nduk, aku cuma ndak boleh terus diam di sini. 
            
Majulah dan berhenti menyayanginya, banyak yang lebih baik darinya, terlalu banyak orang yang menyarankan hal itu padaku. Apa kamu mengikuti salah satunya nduk? Jika aku hanya memilih maju, dan tetap peduli padamu, tolong tunjukkan kesalahan atas keputusanku nduk. Ya, aku peduli, hanya peduli, bukan ingin memilikimu lagi. Adu mulut yang makin kacau membuat ambisiku untuk bertahan mengejarmu hilang, Aku cuma ingin adu mulut itu berakhir. Banyak celaan yang mengatakan ini omong kosong, aku hanya bisa mengatakan, aku bukan mereka. Tak cukupkah?

Mungkin kamu benar nduk,aku memang makhluk paling aneh, menyebalkan, juga membosankan sedunia. Aku , sampai saat ini belum memungut penyelesaian selama aku berjalan, buntu. Apa yang aku lakukan selalu berakhir dengan kemarahanmu, tapi penyelesaian yang kamu tawarkan ndak pernah bisa aku terima nduk, kamu ndak memberi pilihan yang lain, take it or leave it. Hingga saat ini aku masih memilih untuk bergentayangan diantaranya, mencari penyelesaian yang lain.

Dan kalian, tolong jangan menerka-nerka. Ini bukan tentang pemujaan, tak ada yang dipuja dan memuja. Hanya lelah.
         

Cahya Bagus Mandalukita
      

Wednesday, September 18, 2013

Sesungging Petikan

When there is love, you can live even without hapiness
                            -notes from underground-

idealisme yang membuat tersungging,sebuah senyuman:)

Tuesday, September 10, 2013

Tanda Tanya

Seorang lelaki dengan bekas luka yang tak pernah bisa kamu lihat dengan mata,

kembali tersenyum setelah lama berduka atas sebuah kekalahan dari bayangannnya sendiri, bangkit atas kematian yang tak membunuhnya baru sekali,

mendaki jengkal setelah jungkal sekali mengitari matahari,
semua teman-temannya berkata bahwa seseorang di luar sana tercipta untuknya, hampir semuanya sedang bahagia,dan tak ada celah baginya untuk begitu saja percaya,

fakta tak pernah sekalipun di dapat dari kata-kata, kali ini dia mencoba mencari kebenaran serangkaian kata hiburan teman-temannya,mencari cara menemukan satu cela diantara milyaran sempurna,

sebuah cara dicoba, jari-jarinya mengetikkan alamat blog miliknya,dan mulai menulis,blog yang bahkan hanya dikunjungi beberapa pengangguran sekenanya,

dan ia mulai membuat 20 daftar pertanyaan untuk siapapun yang membacanya,setidaknya blog miliknya bisa di akses oleh seluruh dunia,biarpun bisa memiliki definisi yang sangat berbeda dengan [asti,,blog miliknya tidak mendunia,tentu saja,
sudahlah,baca saja,

Kepadamu entah siapa disana,

setidaknya dengan ini aku mengenal kamu yang mungkin tak pernah sekalipun aku tau,sebentar saja berikan kunci matamu agar kucuri perhatianmu dengan santun,jawab saja sesukamu, mungkin kamu bisa ajak teman-temanmu,sesukamu,siapa saja mereka,
tenang saja,ini bukan wawancara kerja,bahkan aku tidak akan mampu menggajimu kalau kamu bisa menjawab semuanya sekalipun,

1. Seorang pengganggu yang selalu mengikutimu,atau seorang teman yang tak pernah ada?
2. Sebutkan saja jumlah waktu yang kamu habiskan untuk, a.)saling menatap mata, b.)berpikir mengenai dirimu sendiri dan menertawakannya lain kali, c)meneguk kopi dan menarik nafas
3. Kecupan di kening,atau belaian pada rambutmu yang entah lurus panjang,ikal,berponi,atau entahlah bagaimana?
4.apakah kamu bertanya siapa aku?
5.Mana yang paling kamu rindukan?kecupan di kening,mencium punggung tangan, atau jari-jari yang memijat kepalamu saat mandi?
6. piano atau biola?
8. Pengemis renta atau pengamen kecil?
9.  Berenang dan tenggelam,atau berlari dan patah kaki?
10. ......
11. kamu atau aku?
12. Logaritma atau gerak parabola?
13. Membenci seseorang yang kamu sayang,atau dibenci orang yang kamu sayang?
14. Seberapa sering kamu menuliskan "aku merindukanmu?"
15. Pertanyaan ke lima belas, ingin kutanyakan sekarang,atau nanti saat aku berjabat malu-malu?
16.Lumba-lumba berkulit licin,atau kucing persia yang membuatku bersin tapi tak pernah berhenti menggendongnya?
17. apa yang kamu pikirkan tentang no 10?
18. Bagaimana caramu memaafkan seseorang?menggeleng, mengangguk,menatap,atau meratap?
19. Berapa besar ruang yang kamu sisakan untuk masing-masing orang yang pernah kamu maafkan?
20. Jika aku memintamu mencari sesuatu tentang nomer tujuh,kemana kamu akan mencarinya?

hingga saat ini dia melihat tidak ada seorangpun yang menjawab pertanyaan-pertanyaannya, dan tersenyum menertawakan dirinya sendiri.


13.12 11 September 2013


Cahya Bagus Mandalukita

Monday, September 9, 2013

September Jatuh

September berseru gema.
menyeru kabar sebelah hati tersenyum bahagia, sedang pasangannya mengeras tak lagi berasa.
keduanya hilang, rasa, juga asa.
setahun lalu.

September, gagal menggigil.
berkali-kali mencoba membeku.
buka mata, apa yang dipuja tidak pernah gagal cela.
Penghamba tak mencari iba
mereka melihatmu sepenuh jenuh tuduh, meneduh, tak sekalipun menjauh.
jangan juga kamu tanyakan mereka tentang cela, mereka tak pernah tau
baginya tak ada cela, hanya bagian dekap cinta

September benci mencaci,
mengangkat pedang getah, berbekas pada degup gugup
berdansa pada sayatan patah, ranting,juga kata
bukan, hati tidak patah, mereka tumbal tumbang

September, mencandu rindu
belah bilah bermata dua, menghentikan debar hambar senyum, pada perang paling hangat
sebuah sumber kelahiran, menarik restu berganti pastu,
mengetuk kutuk anggukan Tuhan.

September, pulang tergesa
berjingkat cepat mengendap genap
mengejar kereta yang sudah meninggalkannya kemarin sore
berlari sejajar dengan seorang gadis mengikuti kata hati,
sekali bersilang, lalu semakin menjauh

September, dengan semua harapan yang jatuh padanya menahan lebam beban.
  
7 September 2013















Cahya Bagus Mandalukita

Tuesday, July 30, 2013

Malaria, Hujan, dan Malam

Aku bosan menuliskan hal-hal romantis,
kadang, karenanya otakku berkata aku bajingan melankolis, seperti seorang kekar penuh goresan hasil sayatan pisau pada pelipis dan pipinya. Otot-otot steroid yang menggembung berurat pada lengannya. Hanya saja dengan tatto cupid merah jambu.

Seperti malam ini, hujan lebih deras dari biasanya. Mungkin parasit malaria sedang berpesta, yang jelas onggokan daging ini terasa beku. Setauku beku membuat daging lebih tahan lama.Walaupun otak bebalku belum menemukan teori yang pas, apakah hal yang sama berlaku juga pada serakan tulang belulang yang bernyawa.

Jari-jari kaki bergerak menggigil, dingin. hilir darah dengan sumber yang mulai mengering, aliran yang sama menyerbu muara yang kalian sebut jantung. Aku sendiri lebih suka menyebutnya hati, karena disana berdetak lebih kencang saat memenatapmu, bahkan hanya dengan gambar dirimu. Aku percaya degupan itu terjadi karena diletakkannya perihal yang Tuhan sebut cinta. Pada imajinasiku letak cinta adalah hati bukan jantung. atau mungkin mereka hal yang sama yang kita sebutkan dengan cara yang berbeda. Bagaimana jika kita sepakati saja menyebutnya jantung hati? Tapi jika kamu adalah jantung hatiku, apakah berarti kamu juga muara aliran darahku?

Mataku tak juga terpejam, hari ini Senin,02.00 WIT. Aku tidak sedang memikirkanmu, jadi jangan terlalu senang dulu. Entah apa yang membuat adrenalinku ini meningkat tanpa sedikitpun kafein yang kutelan seharian ini, mesencephalon pada otakku melarang mataku terpejam. Lalu aku mulai menulis. Saat aku menuliskan "aku tidak memikirkanmu", saat yang sama bagian belakang dari sulkus entralis memerintahkan anterior lobus frontalis untuk memikirkanmu. Aku benci keadaan seperti ini. Pagi ini, pegawai rendahan sepertiku harus berangkat bekerja, dan tidak mungkin menyalahkanmu jika aku terlambat nanti. "Terjaga karena memikirkanmu semalaman" bukan salah satu pasal dalam undang-undang pengampunan yang diterima bos besarku untuk keterlambatan pegawai baru sepertiku. Ah sudahlah, toh nyatanya pagi ini aku terlambat, sekian menit saja.

Ingin rasanya sekali saja dalam satu kali dua puluh empat jam ini tak seorangpun yang kuhubungi, ada sesuatu yang membutuhkan waktu untuk berpikir tentang dirinya sendiri. Keegoisan yang membuatmu terhindar dari keangkuhan. Kesendirian menyadarkanmu bahwa memang sendi-sendimu masih nyaman dengan kesendirian. Kemarin otakku mengatakan hal yang aneh,
"Tidak cukupkah hukuman yang aku terima dengan kehilanganmu, hingga kamu masih menghukumku dengan kebencianmu?"

Dengan jari-jari ini, otakku lebih fasih berbahasa daripada lidah penuh ludah. Banyak hati yang tersayat karena racun dari madah yang keluar bersama kata. Tapi disini, aku menuliskan banyak hal tanpa menuliskan tentang siapa, tentang apa. Kubiarkan saja otak-otak cerdas kalian menerka kata-kata. Harapanku sebenarnya sederhana, bertanyalah padaku tentang buangan jariku. Lalu aku akan menanyakan banyak hal tentangmu, sekedar lebih mengenalmu. Nanti saja, suweda yang menggigil bukan gegaman yang pas untuk menuliskan banyak perihal, mereka sedang sebeku otakku.

Selamat malam, parasit malaria, bulir hujan, juga kamu..


Cahya Bagus Mandalukita

Thursday, July 25, 2013

Kepadanya Kutuliskan sebuah perihal

Kaki Bangku Sekolah Dasar, yang kupahat kepadanya namaku dengan gunting,sebuah nama yang mungkin sekarang telah terukir pada tiang-tiang kandang ayam, atau ikut terbakar saat si penjaga sekolah membakar ikan.
...
..
.
Induk ayam, berkotek sangat ribut pagi tadi, mengabarkan kelahiran telur-telurnya,sekiranya aku peduli.
...
..
.
Daun kembang sepatu, mati-matian bertahan untuk tak gugur karena mencintai seekor kepompong pada ranting coklat tua yang masih setia menopangnya.
...
..
.
Sepasang ikan mas koki, dalam akuarium kaca bulat milik sepasang kekasih yang telah saling meninggalkan, tak seorangpun mempedulikan nasib mereka berdua.
...
..
.
Parasit Malaria, mereka membuatmu tubuhmu menggigil, perutmu mual seperti ada kupu-kupu sebesar sepasang telapak tangan mendesak ingin keluar, sendimu linu melepaskan semua tulang yang belum sempat kau banting mencari recehan, seperti jiwa yang sedang jatuh hati, dan mereka benar-benar merusak hati, ginjal, pun lambung.
...
..
.
Sepucuk surat cinta, dituliskan oleh seorang gadis baru tamat sekolah menengah pertama, untuk kakak kelas yang setaun kemudian pergi meninggalkannya,juga melupakannya. Tersimpan rapi pada kotak tupperware bekal anak SD. Masih wangi.
...
..
.
Segenggam recehan, yang dikumpulkan pada bekas kaleng keripik, benar-benar seperti harta karun bajak laut, hanya tidak terpendam. Suatu saat akan membuat susah penjaga warung di ujung jalan saat kubawa untuk membeli keripik yang sama.
...
..
.
Selipatan biru, yang mati-matian bersembunyi pada ujung paling dalam sakumu, bersembunyi makin dalam saat kau rogohkan tangan pada lipatan celanamu, hal  yang susah payah dilakukan hanya untuk menanti saat yang tepat menyelamatkanmu dan membuatmu tersenyum lebih lebar daripada saat kau paksakan ketika patah hati.
...
..
.
Irama, yang didengar begitu indah saat jatuh cinta, lagu yang sama berdendang begitu kelu saat hati yang sama patah.
...
..
.
Teriakan histeris, para suporter fanatik klub sepakbola Inggris yang begitu gembira saat tim nasionalnya sendiri habis dipecundangi.
...
..
.
Sebulir air mata seorang gadis pengamen kecil, menatap bulan dengan perut lapar. Recehannya tercecer saat berdesak-desakkan di atas kereta ekonomi  diesel saat pekerja kelas menengah Jakarta pulang mengais recehan yang lebih besar.
...
..
.
Senandung rintik hujan pagi ini, hujan mengejan merintikkan airmata menjadi pelangi pada arah kiblat. Sedang induk ayam yang kemarin berceloteh, sekarang sudah bungkam, pagi ini terlalu dingin.
...
..
.
Kabut, turun merengut, gerimis, merintik menangis, keduanya menjadikan pagi ini sendu, kesedihan palsu seekor belatung yang menggeliat pada bangkai musang di halaman belakang.
...
..
.
Suara mesin pencetak berkas, yang tak akan kamu mengerti walaupun kujelaskan berulang kali. giginya berisik, bergemelatuk sedari pagi. Sibuk meludah pinang hitamnya pada kertas putih rangkap tiga.
...
..
.
Rindu yang kutumpuk, tak perlu pupuk, semua rumput yang tak kusiangi menjadi penyamaran yang tak tersaingi. Tak ada yang tau aku merindukanmu, saat kau mengapit lengan kekasihmu dan mengintip dibalik punggungnya. Kecuali aku, kaku.
...
..
.
Amarah ramah,sepasang tangan kecil menjamah sepasang payudara tempat mengucurnya air susu untuk anak dari seorang ayah bejat yang meninggalkan rumah dan memeluk seorang perempuan lain di ujung jalan.
...
..
.
Dan semua bidak budak bedak yang menutupi wajahnya dengan topeng tepung, putih dan patuh. tolong hentikan, kamu cantik saat kain yang menutupi rambutmu kembali kau tarik, berhenti melemparkannya pada lemari kayu, kamu membuat wajahmu sayu,tak lagi ayu.



Cahya Bagus Mandalukita

Wednesday, July 17, 2013

ABAIKAN....











ga tau kenapa gue jadi kepikiran buat baca psak no 1 ampe kelar yang ga tau ampe berapa angkanya..Nganggur sih nggak,tapi kalo udah nganggur luar biasa bengongnya....










Monday, July 15, 2013

tragedi hilangnya salah satu kepribadian gue

udah dua bulan sepertinya gue ga ngubek-ngubek nih blog hina gue, ada beberapa alasan sih sebenernya,tapi buat kali ini gue cuman pengen cerita satu alesan aja,,gapapa kan ya..

laptop gue ilang men!!!!kok bisa?panjang ceritanya,sepanjang cewek lo cerita tentang bajunya yang makin hari makin mepet sama perutnya, mungkin juga sepanjang curhatan temen lo yang jomblo 23 tahun ga kelar-kelar. Curhatnya sih sama, tentang gimana dia pengen deketin cewek, tapi yaa cerita sepanjang itu cuma berhenti sampe cerita dia pengen aja, berasa liat sinetron tersanjung gitu lah. Lo udah tau pasti bakal ada lanjutannya, tapi lo agak males nontonnya. Ya iyalah males, udah ketebak sob endingnya!! Untungnya salah satu temen gue yang udah jomblo 23 tahun ceritanya udah ga hambar lagi, dia lagi ngedeketin cewek, yang ketemuan di atas pesawat, amazing *gue perlu ijin ama presiden kalo mau nyomot namanya disini,jadi biarin aja dia ngomongin semua sodaranya di hutan belantara kalo baca ini, seenggaknya ga ada yang tau siapa yang gue maksud,,hahaha..

sebelumnya gue mau minta maaf, gue ga peduli sih kalo kalian-kalian pengen ngebaca artefak yang judulnya "Hilangnya Laptop Penuh Kenangan" yang gue pahat di blog gue ini. biarpun gue bilang ini artefak, tolong jangan salah paham, komputer yang gue pake ini biar jadul bukan terbuat dari batu baidewei. cuma tulisan gue ini kan ga bakal hilang biarpun gue udah punya cucu 45 biji, kecuali gue dengan sangat kejam ngehapus tulisan-tulisan hina gue ini, makanya gue bisa bilang ini artefak yang bakal jadi peninggalan prasejarah hidup gue. Sip, ada baiknya kita kembali ke cerita cinta dua dunia. iya, cinta gue ama laptop gue, cinta gue ama dia (baca : laptop gue)  dipisahkan... Peristiwa memilukan itu terjadi gara-gara gue janjian ketemu sama dua cowok binal dan dua cewek preman. Iya, dua cowok yang gue temuin ini binal, mereka lagi ikut BINaan mentAL. Yang satu sebut saja lelaki "Beruntung". Nama dia artinya emang beruntung. Temen gue yang satu ini sukaaaaa banget ama temennya, kalo lo ga mau disebut cinta mati, ya udah, gua sebut aja "SUKA BANGET". kenapa banget, karena ada anget di dalam banget, kalo lo udah suka pake banget, berasanya anget kalo lo deket.*maksud gue minta maaf diatas itu ini, gue berharap lo pikir-pikir ulang deh kalo mau baca lebih jauh blog gue,mungkin bakal ngerusak fisik, mental, atau mungkin masa depan lo

Oke,minta maaf selesai, minta maaf itu ga usah lama-lama, paling lama ampe lagu syukur yang dipake mengheningkan cipta pas upacara selesai dinyanyiin,abis itu udah, jangan diinget-inget lagi. Sekarang gue lanjutin aja yak, dan sumpah gara-gara temen-temen gue ini gue tau dan yakin kalo cerita-cerita di FTV itu semua, iya SEMUA, kurang gede?? SEMUAAAAA kayaknya emang based on true story, ceritanya si "beruntung" ini sinetron banget. jatuh cinta sama temennya yang udah dia anggep temen banget, sampe ga punya nyali buat ngebekep, takut kalo ntar ternyata bukan jodoh terus putus, hubungan mereka bakal kayak roti digebukin sampe bengep, ancuurrrrrrr sampe remah terakhir.

 Terlepas dari keheranan gue akan ketakutan temen gue yang satu ini, gue salut juga sih ma ni bocah, dia bisa mati-matian bilang kalo dia nggak suka, padahal gue dan tiga temen lainnya semua sepakat kalo sebenernya dia suka banget ma temen ceweknya ini, bahkan mungkin temen gue yang jomblo 23 tahun yang lagi deketin cewek yang ketemuan di atas pesawat juga kayaknya bakal sepakat kalo si "beruntung" ini suka mampus ama tuh temen ceweknya, bayangin, orang tanpa pengalaman cinta aja bisa bilang gitu, gimana gue yang punya banyak pengalaman putus cinta!!!! ehmm, kalo gue liat perutnya sama kisah cintanya sih, gue curiga dan KAYAKNYA  semakin yakin kalo mungkin dia titisan pangeran tianfeng, reinkarnasi pangeran selanjutnya setelah jadi tipatkai.

temen binal gue  cowok yang satunya lagi sebut saja OM, selain karena emang dia cowok paling tua diantara kami,mukanya juga om-om banget, kisah cintanya ga kalah tragis,tapi sepertinya mulai sedikit realistis, udah ga banyak nangis, ga banyak ngemis, lebih sering pake baju gamis dan puasa senen kemis, ya dompet mah tetep aja kembang kempis,kayak gurita kebelet pipis. Iya, kalo gue ga salah inget, 5 tahun terakhir ini, dia udah diputusin sekitar 4 kali. biasa aja kan ya? terus apa yang aneh? aneh, yang mutusin dia 4 kali itu satu orang, dan yang lebih ajaib lagi,dia ga pernah jadian. satu kejadian lagi yang bikin gue makin yakin kalo ftv yang selama ini gue tonton buat menjaga tingkat objektifitas gue dalam menilai cewek itu cantik secara lahiriyah ato enggak, ternyata memang based on true story.

dua orang yang temen gue cewek ini rada susah di deskripsikan,yang satunya preman,sebenernya cuman mukanya aja yang keras sih,khas sumatera utara laaah,gue lebih suka bilang dia misterius,dia susah banget disuruh cerita tentang hidupnya dia,apalagi kalo urusan cinta,ampe nenek2 lo paksa make rok mini juga ga bakal mau cerita. Tapi dia pendengar yang baik sih,aseliii..kalo lo cerita dia ga bakal nolak buat ngedengerin, tiap kita cerita dia ngedengeriiinnn aja,giliran kita minta cerita dia tetep ngedengeriiin aja,,kita udah mau pulang dia tetep ngedengeriiin ajaa,,waktunya bayar makan juga dia tetep ngedengeriinnn aja,bener-bener pendengar yang baik lah.

satunya lagi ,termasuk angkatan 45 umurnya kalo dibandingin ama kita yang generasi 90 ini. cewek yang rada bener dikit lah, masih ada ciri-ciri cewek didalam dirinya,,agak sensitif, galau LDR, ga pernah nolak kalo diutangin pulsa,bayarnya kalo inget aja,orangnya ikhlas banget,kalo misalnya kita lupa punay utang,biasanya sih dia hapusin utang kita,*sengaja gue puji2 biar dia ga berhenti ngutangin gue pulsa.. 
udah itu aja,ntar dia ngambek kalo gue hina-hina,ntar utang gue ditagih semua,ntar gue jatuh ke dalam jurang derita ga punya duit,maklum aja,perbandingan aset ma utang gue udah ga balance, kayaknya aset gue semuanya dibeli pake kutang. Buat dua temen cewek gue ini ga usah gue sebutin namanya ya, gue ga pengen gue besok udah ditemukan terpotong-potong dalam karung depan hotel melati,mohon pengertiannya ya...



jadi ceritanya gue lagi ketemuan sama empat bocah abnormal,karena orang normal ga bakal mau temenan ama mereka,gue juga termasuk golongan orang-orang abnormal,dan kita maen uno..terus tiba2 pas mau balik gue liat tas gue udah ga ada,di dalemnya ada laptop,jam tangan,celana basket gue,dan kolor bekas maen basket,lupakan benda terakhir,ga pantes buat kalian inget-inget,bisa mimpi buruk dicium cumi-cumi ntar malem..udah gitu aja,akhirnya hilanglah kepribadian gue itu bersama kenangan-kenangan di dalemnya..
sebenernya gue ga niat ngasih tau kalian kalo barang gue ilang,gue lagi kangen sama bocah-bocah abnormal itu,gue akuin kita ga selamanya damai-damai aja,tapi kalo berantem ya udah,selesai ga lama setelah kita berantem,dan gue termasuk yang paling sering cari gara-gara. Gue termasuk manusia yang punya skill buat bikin orang pengen nabok cukup lengkap. Usil iya,pertama kenal ama si "beruntung" itu dia lagi ulang taun,,gue ambil dompetnya dan gue ngajak anak-anak ke bintaro plasa buat gue traktir pake duit dalem dompetnya tu bocah. Mulut gue kata mereka ga disaring, kata si 'beruntung', bibir gue bibir janda,gue ga tau kenapa dibilang gitu ama dia,mungkin dia udah pernah ngerasain mulut janda,,tapi kan dia ga pernah ngerasain bibir gue kan ya..orang yang aneh--"
sekedar konfirmasi,sebenernya mulut gue udah ada saringannya,cuman ya lobangnya gede-gede aja,jadi batu koral juga masih lolos biar disaring juga. ah sudahlah,makin banyak gue inget kalian,makin kangen gue ama kalian..

semoga semua berjalan sesuai harapan masing-masing, kita saling mengenal,saling mengingat,dan (semoga) masih saling mendoakan.


Gue pengen upload foto,,tapi susah banget dah upload foto disini,,oh iya,sekarang gue ada di Timika, Papua.. Kok bisa?ya bisa..next post bakal gue ceritain..udah gitu aja,wasalam:D



Cahya Bagus Mandalukita

Thursday, April 11, 2013

Tanda Baca



Ada saatnya kita berada pada satu titik, dimana aku adalah koma, karenanya kamu berhenti sebentar saja. Lalu kuputuskan mengakhiri diriku dengan dua koma, berharap kamu berhenti sedikit lebih lama. Sempat aku berseru, menegaskan banyak hal yang kamu tak pernah tau, pada akhirnya tetap menyisakan tanda tanya, percuma.

Aku tak begitu menyukai titik,mereka keras, juga terlalu tegas. Mereka berkata semua sudah selesai, tapi terus memulai sesuatu yang lain, hanya untuk membuat semuanya kembali berakhir. Karenanya aku jatuh cinta pada koma, mereka membuatmu berhenti sejenak untuk berpikir, lalu kembali mengalunkan kisah cintanya.

Kadang kamu menekan titik dengan pena hitam dalam tangisan, mengakhiri semua kisah bahagia dengan kesedihan. Sedang aku masih bertahan dengan koma, menanti siapa yang akan melanjutkan kisah menjadi bahagia. Alasan yang kuat untuk sebuah perpisahan, saat merasa tak sejalan dan tak mau saling bertahan.

Kamu berkedip dengan titik koma,begitu genit. Mampu membuat seorang prajurit dengan kapak penuh darah terbang ke langit, pun seorang raja buruk rupa terguling dari singgasananya berkuasa.

Sepasang tanda petik mengurung sebuah percakapan, abadi dalam kata, dikenang sebagai bahagia, mengakhiri cerita sebelum terpejamnya mata. Tanda petik yang sama, menyimpan semua pertengkaran sepasang kekasih yang kulihat begitu hangat kemarin, dan sekarang mereka kembali berjabat tangan untuk berkenalan, bodoh.

Jika semua kata adalah rahasia, aku adalah tanda baca yang memecahkan misteri tentang apa yang kamu rasa. Bahkan sesekali kamu menuliskan tanda baca tanpa kata, semua yang tak akan pernah mampu kamu rahasiakan.

Garis miring masih terus mengataukan kita, aku, kamu, dan dia. Memberikan pilihan atas apa yang kamu sebut logika cinta, lalu salah satu dari kita terbang, pergi dengan huruf besar dan tanda seru. Muak atas pembelaan yang terucap dengan banyak koma.

Tanda tanya terus merintik, menghujani akhir yang kau tuliskan dengan titik sebanyak tiga kali. Kamu sendiri tak yakin mengakhirinya dan terus berkata tentang semua hal mengenai rasa syukur akan sebuah kehilangan. Ada belati tajam pada setiap katamu, menyayat daging yang telah dibius cinta, tak sakit ternyata.

Aku terus menekan tombol enter, tanpa mengetik satu katapun. Hanya ada satu titik pada akhir kertas yang kucetak berlembar-lembar. Kertas itu bukan kosong, hanya kata-kata yang tak pernah mau peduli padanya.

Tanda baca tak hanya melulu tentang intonasi,caramu membaca sebuah sajak cinta. Titik dua dan kurung tutup, mereka tak pernah gagal memperbaiki suasana hati,pun tak pernah gagal membuat penyair menari di atas puisi.



Cahya Bagus Mandalukita,,

Thursday, April 4, 2013

140 perihal #TidakSemuaHitamBersalah



Kertas lusuh mencerca pena,yang meninggalkan jejak hitam,melebar,menoda apa yang kau puja,putih yang kau kira suci #hitamtidakbersalah

Laut terlihat gelap,mencermin bintang bersolek,yang cemburu pada matamu,karenanya mereka terlihat biasa,tak lagi istimewa #hitamtidakbersalah

Gagak hitam berbulu mengkilat, lewat sekelebat, mengabarkan berita bahwa kau telah bahagia,bukan berita duka bagi mereka #hitamtidakbersalah

Kekar tubuh,hitam legam,mencacah tanah,pada medan amarah rha,mencari berkah bumi, dua anaknya menunggu sepiring nasi di rumah #hitamtidakbersalah

Dengan Pandangan gelap, berjalan meraba-raba, merasa udara, bergantung pada sebuah tongkat meraih asa #hitamtidakbersalah

Pada gelap malam, mereka menapak,bercahaya obor,menggemakan nama Tuhan, pada hari terakhir ramadhan. #hitamtidakbersalah

Pelangi adalah senyum mendung yang bergembira,mengucapkan selamat datang pada setiap tunas yang lahir atas hujan. #hitamtidakbersalah

Gadis kecil tersenyum, terpejam dalam gelap, kecupan ibunya, pusaka terkuat yang menemaninya terlelap  #hitamtidakbersalah

Gadis itu tersenyum dalam gelap kamar,dihias begitu indah,malam terakhir dia menyandang gelar gadis, gelap pertama setelah janji setia, selamanya #hitamtidakbersalah

Terlalu cepat kalian menghakimi hitam dan gelap, mereka romantis, kadang sedikit erotis.
#hitamtidakbersalah

Cahya Bagus Mandalukita

Wednesday, April 3, 2013

Untukmu Dua Hari Lagi


Terlahir atas doanya, yang terdiam setiap kali sedikit kucabik hatinya dengan belati kata,tak berdarah memang. Luka dalam memang tak pernah mengucur, dia lebam dan membusuk, dosa besar yang sepertinya terus kutumpuk.

Wanita yang menjaga hasil perbuatan ayahku, berjuang sangat keras menunjukkanku sebuah dunia.

Aku menangis setiap kamu meninggalkan rumah, tangis yang menyayat luka hingga memeras darah, waktu itu aku belum tau jika kau banting tulangmu untuk sekedar membelikanku beras merah.

Aku tak ingat detailnya,tapi kamu tahu betul caranya memahat,dan kamu punya alasan yang sangat kuat kenapa tidak melukis kertas putihku, dan memilih memahat batu keras pada kepala batu. Lukisan akan hancur saat hujan, dan kusam karena panas, pahatan tidak. Dan kamu menangis saat memahat otakku dengan keras. Kamu pasti tau, kadang itu menyakitkan.

Langkah pertamaku ragu-ragu,satu dua tapak dan terjatuh lalu  menangis, sekitarku tertawa. Kamu mengangkatku,mencium keningku,dan tersenyum saja. Bahkan tangisku pun mungkin menyakitimu.

Umurku dua, ketika aku mulai belajar berkata,mungkin bukan namamu yang kuucap pertama, jujur tak satu adeganpun terekam dengan jelas pada balon ingatanku,sutradara tidak mengijinkanku menyimpannya,entah kenapa. Tapi rasanya saat itu kamu tetap bertepuk tangan gembira.

Kamu, memangkas sendiri rambutku, dan sedikit daun kupingku hingga umurku hampir sepuluh, masih berbekas potongannya pada telinga kananku, kenapa tak kau potong habis saja, sehingga tak ada hal yang membuatku rindu padamu.

Kamu memandikanku lewat tengah malam, rasanya ketika aku berumur lima. Aku menolak mentah-mentah ajakanmu untuk memandikanku saat senja, tepat sebelum matahari tenggelam. Jadi jangan salahkan aku jika aku hanya mandi sekali saat aku libur, sebenarnya aku menunggu kau mengguyurku tengah malam, tapi tak pernah lagi kau lakukan. Satu hal lagi, tentangmu yang kurindukan.

Dua kata yang tak pernah aku lupakan, apel dan garuda. Seorang anak kecil dengan cerdiknya menghapalkan gambar saat kau menyuruhku mengeja kata-kata pada buku berjudul “Belajar Membaca”.  Aku tak pernah bisa mengejanya saat itu, jadi kuhapalkan saja gambar di atasnya,setiap kau tunjuk ejaannya, aku menjawab dengan lantang. Siapa yang tak tau jika itu gambar apel dan burung garuda. Memang benar kata orang-orang,kecerdasan anak laki-laki selalu menurun dari inang betina,dan kamu tersenyum, menutup gambar-gambar itu, dalam sekejap,aku menjadi anak kecil dengan intelektualitas paling tengkurap sedunia.

Entah nenek sihir mana yang merasukimu, kamu menyuruhku mempelajari buku itu semalaman, hanya lampu mejaku yang tak kau matikan, lalu aku belajar mati-matian, juga menangis tentu saja. Rasanya aku ingat betul jika aku tertidur di meja,dan paginya,kamu sudah ada di sampingku,pada dipan paling nyaman dari istana kerajaan dongeng manapun, kamu tidur, memelukku.

Cinta pertama yang mengajariku rasanya malu-malu saat ada kecupan pada pipi, saat itu aku merasa orang paling dewasa di dunia,sekarang aku tau,orang dewasa akan merindukan saat sosok sepertimu mengecup kening mereka.

Saya pergi empat tahun yang lalu, alih-alih menuntut ilmu,aku lebih merasa menjadi benalu,lintah kubangan kerbau yang tak berhenti memaksamu bekerja lebih keras memenuhi kebutuhanku disini.
Sejak itu,aku dan kamu,cinta pertamaku,sampai sekarang kita menjalani cinta jarak jauh.

Dunia ini aneh, aku tak mengerti cara Tuhan menyusun kertas kerja atas hidupku,dulu, aku sangat ingin memiliki ruanganku sendiri,berkuasa atas kotak kosong yang saat itu sangat jarang kusinggahi,ya,semua orang dewasa yang kulihat punya kotak besar kerajaan mereka sendiri. Dan sekarang,setiap kali aku kembali padamu,tak pernah sekalipun aku melewatkan tidur dengan memelukmu, di kamar yang sangat ingin aku tinggalkan,tujuh tahun yang lalu.

Hari ke enam pada bulan ke empat kamu akan merayakan saat 48 tahun sudah Tuhan tak lelah mengurangi umurmu,sejak 1965,jika aku tak salah mengingat, semoga tidak salah. Aku berdoa,  semoga pada sisa umurku, sempat membahagiakanmu.

Untukmu dua hari lagi, Selamat ulang tahun
Anakmu,


Cahya Bagus Mandalukita

Sunday, March 24, 2013

Pohon Beringin Tua, Sepasang Kenari, dan Telaga



Pohon Beringin Tua
Sebatang kara kayu hidup pada tepi danau  yang entah apa  namanya. Sebatang kara dan sebatang kayu sepertinya  kembar,  mereka sama-sama sendirian. Kayu itu tak bertuan, juga tak  mempunyai  pasangan.  Kerutan dahan yang kamu lihat padanya menafsirkan sedikit asa tentang usia. Tak seperti kita, manusia, kerutan membuatnya terlihat semakin kokoh berdiri. Jangan menanyakan padaku, aku  pun tak  tahu  apa kerutan itu karena  terendam air  terlalu lama seperti jari-jarimu, atau memang waktu yang membuat dahan-dahannya berkerut. Tonjolan-tonjolan akarnya seperti penopang bumi,  menjadi sandaran bagi  mereka yang sedang berkasih. Terkadang hanya berteduh dari amarah siang atau sesaat bercumbu pada dingin malam. Entah apa sekarang mereka, sepasang kekasih itu, masih bersama, atau malah telah lama terpisah. Atau bisa jadi mereka telah menikah, dengan orang yang berbeda. Tonjolan yang sama menjadi atap bagi kerajaan semut yang entah apakah kerajaan itu bernama. Sebut saja kerajaan itu sebagai  Kerajaan-semut-tak-bernama.

Dahan terkuatnya bahkan hanya terayun perlahan, menggetarkan daun kecil, juga udara di depanmu. Sekedar menyibakkan sedikit anak rambut di kening lebarmu. Membuat matamu menyipit menikmati gelitik angin karenanya, genit. Dia hanya ingin melihat senyuman di matamu dan sedikit binar bibirmu. Kamu tentu  mengerti,  dahannya tak selentur yang ia mau, jika mampu pasti ia mendekap. Tapi urung ia memelukmu, selain tak lentur, ada ulat-ulat kecil yang sedang berjuang menjadi ngengat pada daun-daunnya, tak tega ia mengganggu mereka. Bukan, bukan karenamu dia enggan menjamah tubuhmu. Tidak semua hal di dunia ini selalu berkaitan dengan dirimu, jangan merasa Tuhan tak adil hanya karena suatu hal yang terjadi bukan tentangmu.

Sepasang kenari yang kulepaskan kemarin membuat sarangnya di sana, pada sebuah rumah-rumahan coklat muda. Kupaku disana, pada tubuh tua yang bahkan tak bergetah saat kupukulkan gada diatas paku kecil, menancap tepat pada ketiak dahan terendahnya. Pada saat yang sama daun-daunnya bergesek berisik. Mungkin menahan sakit yang baru terjadi, atau berterima kasih karena memberi sepasang kenari kuning untuk menemaninya. Aku tersenyum, kujawab  perlahan,” Aku hanya memberi dua  kenari itu pilihan hidup. Mereka yang akan menentukannya sendiri, menemanimu, mencari sarang baru, atau berpisah. Aneh bukan? Memang bisa jadi begitu, bisa jadi mereka akan bersamamu dan beranak pinak disini, atau meninggalkanmu, atau bisa juga malah kalian bertiga akan saling meninggalkan. Ya, kalian bertiga, sepasang kenari kuningku dan kamu, pohon beringin tua.  Jalani saja bersama mereka, selama bisa.” Angin lebih kencang bertiup, dahan tertingginya merunduk. Aku paham,  dia mengangguk.

Sesaat aku tertidur di bawahnya, pada satu akar paling besar yang menyatu pada tubuh pohon besar, jika tak bisa kubilang raksasa. Aku tak pernah berani memanjat pohon. Di atas sana kepalaku pusing, aku merasakan rotasi dan revolusi sekaligus. Alasan logis untuk jatuh dan patah kaki. Sepotong daun tergeletak pada kelopak mataku. Kukatakan sepotong, karena angin yang memotong tangkai layunya  hingga dia terjatuh disini, pada mataku. Aneh, menurutku angin tak setajam itu hingga mampu memotong apapun sebenarnya. Tapi sudahlah, kali ini dia berhasil. Daun itu sudah tak lagi menyatu dengan si empunya.

 Sebenarnya aku lebih suka menyebutnya sehelai. Jika imajinasiku benar, maka daun adalah rambut dari sebatang pohon beringin, maka aku menamainya sehelai, bisa saja kamu setuju, bisa juga tidak, yang pasti Si pohon tua ini mengirimnya untuk menemaniku tertidur di bawahnya. Sekedar menjaga kelopakku dari silau matahari. Dia begitu baik, padahal aku belum lama mengenalnya.

Seminggu setelahnya kulihat burung kenari itu tak lagi berdua, Si Jantan pergi. Entahlah, mungkin tergoda oleh burung merpati, atau mungkin juga kutilang. Aku tetap duduk di bawahnya, di bawah rumah coklat muda mereka, menyebarkan biji-bijian. Kemarin, aku menyadari bahwa  ulat-ulat ngengat itu hilang dari daun-daun kecil. Mungkin kenari kuning yang kulepaskan minggu lalu penyebabnya. Sejak itu aku berjanji menebarkan biji-bijian disini, memastikan tidak ada lagi korban selain mereka. “Maafkan aku ulat, kalian tak sempat berada pada akhir yang lebih indah, metamorfosa kalian tak sampai sempurna, sungguh aku yang menanggung dosa ini.”

 Janda kenari kuning itu melihatku. Kusebut  dia  janda, anggap saja  si pejantan itu sudah mati, toh dia juga tak  akan kembali. Dia masih melihatku, mungkin burung kecil ini bertanya kenapa, kupandangi lagi, ”Kadang seseorang menyadari bahwa mereka tidak akan pernah bisa disatukan, kadang mereka sadar bahwa mereka sangat berbeda, tapi beberapa keras kepala. Mungkin Jantan kuning itu bagian dari mereka, para keras kepala. Biarkan saja, aku akan mengunjungimu seminggu sekali.” Dia berkedip, masuk kembali pada rumahnya yang berwarna coklat muda. Sedang aku masih duduk disana, memandang telaga. Kantong bijianku sudah kosong.

Sudah beberapa  bulan aku tak mengunjungi mereka, kenari yang kini sendirian dan pohon beringin tua, semoga mereka baik-baik saja. Ah, jika kukatakan padamu alasanku tidak datang ke tempat ini selama beberapa bulan tentu kamu akan menertawakanku, jadi lebih baik kusimpan sendiri saja alasannya. Lebih penting bagiku mengetahui bahwa hari ini aku bisa kembali kesana, tidak lupa kubawa kantong bijiku. Sebenarnya aku tak begitu berharap burung kenari kecilku itu masih di sana. Bukan salahnya jika tak sanggup menghadapi kesendirian semacam itu.

Entah kenapa  hari ini si tua terasa lebih muram dari biasanya, terlalu banyak daun kering disana. Dahan-dahan besarnya kini terlihat lebih perkasa. Tonjolan-tonjolan kambiumnya yang menggelembung tak lagi tertutupi daun kecil rimbunnya seperti biasa. Begitu sampai, hal yang kuperhatikan pertama kali adalah telaga, tapi tak mengering seperti yang kuduga, jelas bukan kekeringan penyebab rambut pohon tua ini gugur menguning. Jelas saja telaga ini tak mengering, sekarang musim penghujan. Aneh, tak seharusnya pohon sebesar ini meranggas. Kuperkirakan dengan tubuh sebesar ini akarnya pasti tertancap cukup dalam jika hanya untuk  mencari air. Aku kembali duduk di bawahnya, di bawah rumah-rumahan coklat muda yang sama. Saat kutebar biji-bijian seperti biasa, dia tak muncul. Siapa  lagi yang menurutmu sedang kutunggu, tentu saja  kenari kecilku. Mungkin dia  sedang menimba air.

Pikiranku masih berjalan-jalan ke berbagai tempat, memikirkan berbagai hal tentang tempat ini. Tentang alasan pohon beringin tua meranggas pada musim penghujan, juga cara kenari kecil betina yang kesepian itu menimba air. Tak lama, angin menyibak daun kering diantara akar yang melintang, tak jauh dari tempatku duduk sekarang. Ada sebujur kaku tubuh disana. Kepalanya menoleh ke kiri sedang kaki kecilnya seperti ingin hinggap diatas angin, tak berpijak pada apapun. Aku mengenalinya sebagai kenari kuning milikku. Pohon beringin tua berduka, kenari kuning sudah terbujur tak bernyawa. Aku yakin beringin bijaksana ini sudah mengetahui semuanya. Perkiraanku, pohon beringin tua ini juga yang memotong daun-daunnya untuk menutup bujur kaku bulu tanpa ruh itu pada mulanya. Hanya itu yang dapat dia lakukan untuk menutupi mata kenari kuning yang masih basah pada ujungnya, tak tega ia melihat mata itu, masih jelas bekas air mata disana. Pada saat yang sama, tak mampu ia menguburkannya dengan layak. Janda kenari kuning yang ditinggalkan kekasih, mati dalam sepi. Kini, pohon beringin tua kembali sendiri.

Aku melongok ke dalam rumah coklat muda burung kenari yang telah kosong. Disana, bertebaran buah-buah beringin yang telah menghitam, juga tiga helai daun beringin yang mengering. Entah apa yang dipikirkan si betina. Mungkin dia terus menghitung hari sejak kehilangan paruh terkasihnya. Kubiarkan saja ruangan kosong itu seperti sebelumnya.  Di sana, kenangan mereka akan tetap seperti sebelum mereka pergi meninggalkan rumah coklatnya, juga pohon beringin tua.

Pohon beringin ini kembali kesepian. Dan aku mulai berbicara padanya, ”kemarin malam aku bercengkrama dengan seorang putri, dia cantik, sangat baik. Pekerja keras yang tak pernah ku tahu darimana dia mempunyai energi sebanyak itu. Dia bertanya  padaku,  apa ada hal yang ingin kukatakan padanya sebelum mengakhiri percakapan, dan aku terdiam. Prajurit kecil sepertiku terlalu banyak bermain dengan pedang, gada, dan panah. Tak pandai aku berbicara, dan ketika gugup, makin bodohlah otakku ini dibuatnya. Tak lama kemudian dia tertidur dan aku masih saja terdiam. Baru aku sadar, kenapa tak kukatakan saja aku mulai menyayanginya, selesai perkara!!!” Mendengar celotehanku sore itu, pohon beringin tua menerbangkan satu daunnya ke angkasa. Sepertinya  dia ingin mencapai bulan, tapi beberapa saat kemudian rambutnya itu jatuh pada telaga. Aku mengerti, akan kuikuti takdirku. Semoga dia telagaku, bukan bulan yang tak akan sanggup  kurengkuh.
Kenari Kuning
Awalnya  mereka adalah sepasang kenari kuning yang berdiam pada sangkar besar di depan rumah milikku. Aku sendiri tak pernah benar-benar mengetahui apa mereka bahagia. Tapi jika kalian bertanya menurut perkiraanku, kurasa ya, mereka bahagia. Mereka punya persediaan makanan yang cukup, rumah berteduh tanpa atap  bocor di  dalamnya, jerami yang selalu hangat di dalam rumah-rumahan kayu mereka, juga pasangan berwarna sama, apa  lagi yang kamu harapkan dari dunia burung selain itu semua. Setidaknya jika hal itu didapatkan oleh orang sepertiku,  aku sudah cukup  bahagia.

Kenyataannya, tak ada yang benar-benar bebas dalam hidup kita. Kita  dikurung oleh sebuah sangkar yang tak bisa dilihat. Pekerjaan, peraturan-peraturan yang terkadang membuat tangan dan kaki kalian benar-benar ingin melanggarnya, di otakku adalah sangkar kita. Aku hanya berpikir ada satu  hal yang belum pernah mereka rasakan di hidup mereka, sebuah kebebasan.  Mereka tidak pernah memilih akan seperti apa hidup  mereka.

Akhirnya aku menemukan satu hal yang menjadi perbedaan antara aku dan mereka. Aku memilih jalan hidupku, karenanya aku tetap menjalani hidup dan bentuk kurunganku. Karena aku yang memilihnya. Sedangkan mereka hanya mengikuti apa yang kupilihkan sebagai jalannnya.  Lalu kuputuskan untuk memberikan pilihan itu pada mereka. Ya, biarpun pilihan kebebasan itu tetap saja pemberianku. Tapi sudahlah, setidaknya kali ini kubiarkan mereka memilih.

Hari ini aku mengunjungi pohon beringin tua di tepi telaga. Ada sesuatu yang kubawa kali ini, sepasang kenari, sekotak perkakas, dan rumahnya yang berwarna coklat muda. Sepasang kenari yang tampak kebingungan dengan daerah baru mereka. Sejak awal aku datang ke sini,  mereka tampak kebingungan dengan apa yang  mereka lihat. Jika nanti mereka tenggelam, rasanya mereka tak akan bisa selamat. Sayap mereka tak pernah diciptakan untuk berjuang di dalam air. Sekotak perkakas, lebih seperti kantong ajaib milik robot kucing dari masa depan ketika aku berusia tak sampai sepuluh. Ayahku selalu membawanya ketika mainanku rusak dan dia selalu berhasil menyulapnya seperti tidak ada hal yang pernah terjadi pada mainanku. Setelah mengambil peralatan dari kotak itu, semuanya kembali seperti baru. Juga rumah kenari coklat muda. Entahlah, sudah berwarna seperti itu saat pertama kali aku membelinya dari seorang janda.

Kupaku rumah kenari coklat muda pada ketiak pohon yang mampu kugapai. Aku memang  tidak membawa tangga,  juga tak  merencanakan membawanya.  Aku pusing pada ketinggian, lebih terhormat daripada aku mengatakan aku takut, kan? Mulutku berucap, meminta maaf  pada  beringin tua saat kupaksakan besi tajam itu menembus tubuhnya. Tak bergetah, juga tak  bersuara, padahal aku saja menangis saat pertama kali jarum suntik menembus kulitku, yang tentu saja berdarah sedikit setelahnya. Entah dengan apa dia bekap mulutnya, tapi yang pasti tak sedikitpun aku mendengar jeritan darinya. Dia tetap kokoh berdiri di depanku, dan rumah kenari coklat muda itu sudah terpasang di atas sana sekarang.

Pintu sangkar bambu sepasang kenari kuningku sudah terbuka, entah sejak kapan. Aku heran, mereka tidak terbang. Mungkin sudah terbiasa dengan sangkar sempit mereka di rumah. Mereka tak tahu  bahwa angkasa lebih luas dan indah dari yang mereka pikirkan. Terlalu  lama terkurung membuatmu berpikir dunia hanya seluas  sangkar sempitmu, berpikir  bahwa kamu sudah tidak mungkin lagi keluar dari sana. Kuulurkan jari telunjukku dan mereka hinggap di sana sekarang, aku mulai berbicara pada mereka, tak peduli apa sebenarnya mereka mengerti atau tidak. Rasanya bahkan tak satupun dari kata-kataku yang mengambil perhatian mereka. Mereka benar-benar tidak peduli.

“Sekarang tentukan sendiri nasib kalian, tak pantas rasanya aku mengurung kalian pada sangkar  bambu ini.” Kuletakkan mereka satu-satu pada rumah coklat itu kemudian aku berpamitan pada beringin  tua,  hari ini aku tak bisa terlalu lama di  sana.

Si jantan yang pertama keluar dari rumahnya, berjingkat berkeliling. Dia belum menyadari kebebasannya, hanya merasa berada pada sangkar yang lebih besar sekarang. Satu buah beringin jatuh mengenai kepalanya, sebuah sapaan perkenalan hangat dari sebatang (kara) beringin tua. Dia mulai berkicau, memanggil betinanya  untuk menemaninya,

“Sayang, keluarlah dan lihat sangkar baru kita. Sangkar ini lebih bagus dari rumah kita sebelumnya,  jerujinya mahal agaknya, kasat mata.” Kicaunya sambil terus  berjingkat.

 Sedang si betina masih tak peduli. Terlalu lelah ia tak tidur semalaman, kemarin hari Kamis. Ditambah perjalanan panjang yang harus dilalui tadi, kepalanya benar-benar pusing sekarang. Ulat-ulat ngengat memandang kenari jantan itu sambil terus mengunyah daun, tak begitu peduli mereka pada kehadiran penghuni baru di pohon mereka. Mereka terlalu sibuk makan, tiga hari lagi mereka harus sudah menjadi kepompong.

Sudah tiga malam dan empat sore sejak kubebaskan mereka disana, mereka berdua sudah berkenalan dengan beringin tua, telaga, juga dengan ulat-ulat ngengat yang tak berhenti mengunyah. Besok ulat-ulat kecil itu akan mulai menenun kepompong kerasnya. Sedang sepasang kenariku, masih sibuk mengumpulkan rumput untuk penghangat  rumah mereka. Daun-daun beringin yang kuletakkan dalam rumah mereka basah ternyata, bukan alas yang nyaman untuk menghadapi musim hujan yang dingin seperti sekarang. Sudah banyak cerita yang mereka dengar di sana, tentang cita-cita besar para ulat yang ingin segera menjadi ngengat, tentang telaga yang tak pernah berbohong, juga tentang beringin dan sejoli-sejoli yang  pernah singgah disana. Kudengar salah satu dari sejoli itu segera menikah setelah si perempuan mengandung, beberapa lainnya pergi pada dukun jahat untuk memotong-motong tubuh yang belum genap sembilan bulan.

Pada hari keempat, delapan ekor kutilang singgah pada tepian telaga. Mungkin hanya sebuah kebetulan saat mereka hinggap pada beringin tua. Suami istri kenari menyambut mereka dengan sangat ramah, tak setiap hari mereka kedatangan tamu. Mereka berdua berkicau bersahutan, selayaknya kenari, dan para kutilang acuh. Mereka lapar dan tidak tertarik pada buah beringin yang berwarna merah itu, sesaat kemudian mereka mulai memakan ulat-ulat ngengat, satu-satu. Bukan kebiasaan kutilang makan ulat, bukan untuk makanan seperti itu paruh mereka diciptakan Tuhan. Entah kenapa ulat-ulat itu juga tidak berteriak, pun tak berlari menjauh, tetap saja makan. Seakan menunggu kematian yang sudah mereka perkirakan.

Kenari  jantan mengamuk, teringat cita-cita tinggi para ulat ngengat.  Mimpi yang akan segera mereka kejar esok pagi, satu persatu kehilangan kesempatannya masing-masing, oleh kematian. Entah darimana keberanian itu datang, kenari  jantan mulai mematuk, menyerang para kutilang. Dia sendirian, terlalu kecil bagi enam kutilang kelaparan. Tak butuh waktu lama bagi kenari jantan itu untuk mengakui kekalahannya. Pertengkaran yang tak seimban. Jantan itu mati, dan terjatuh menyatu dalam telaga. Tujuh ekor lele gesit menyambarnya, dia tenggelam, tak mengambang seperti jasad kebanyakan. Hilang sudah cita-cita para ulat ulat ngengat, juga nyawa seekor  kenari,  yang baru menikmati sebuah kebebasan baru empat hari.

Apa kalian menyadari ada dua ekor kutilang yang tak ikut dalam pembantaian sadis itu? Dua ekor kutilang yang menghilang itu adalah sepasang suami istri, mereka lebih memilih lapar dan saling bercerita di balik batu pada sisi lain telaga. Bagus bagi mereka, setidaknya mereka tidak ikut menanggung kutuk dari paruh kenari betina milikku.

Hari keenam saat aku kembali kesana, aku sudah melihat si betina sendirian. Dia memandangku, mengatakan bahwa kekasihnya mati menjadi pahlawan. Dia tahu aku tak mengerti, juga salah mengartikan  apa  yang dia  sampaikan. Menyerah, kenari  betinaku  kembali masuk ke sarangnya dan menangis. Sesekali dia  mengintip  keluar, melihatku duduk di bawah rumahnya sambil melempar biji-bijian dari kantong plastik berwarna  hitam. Lalu dia  kembali  meringkuk,  menangis  hingga tertidur.

Semut-semut hitam mengangkut biji-bijian yang kutebarkan kemarin. Persembahan untuk ratu mereka yang tak berhenti bertelur sejak  sebulan yang lalu. Bukan pekerjaan berat untuk  mereka,  jumlah mereka jauh lebih banyak dari jumlah biji yang kusebarkan dan juga mereka tak memerlukan ijinku untuk memungutnya, toh aku  juga  tak  mengetahui siapa  yang pada akhirnya memakan biji-biji itu. Tentu saja setelah kutebarkan kemarin, alam memilikinya, tak jadi masalah perut mana yang kenyang karenanya.

Kenari kuning betinaku masih meringkuk di dalam rumah coklat  muda yang kubuatkan untuknya, dia sudah tak ingin lagi melihat dunia. Pohon  beringin menemaninya, sesekali melemparkan buahnya  ke  dalam rumah coklat muda, tak satupun tersentuh oleh paruh sang  betina yang mulai  berlumut.

Pada hari ke sembilan puluh tiga,  kenari betina  keluar dari rumahnya dengan tubuh lemah, terjatuh pada celah akar beringin tua. Regang sudah sebuah nyawa bersama air mata terakhir yang sempat menetes dari mata kecilnya. Hari itu seluruh semesta tepi telaga berduka, seluruh mulut ikan terkatup, tak satupun dari mereka mau menyangkutkan bibir mereka pada kail nelayan tua yang sudah empat puluh lima tahun mengail di sana.  Sepertinya malam ini cucunya harus bersantap daun singkong lagi, seluruh hewan masuk pada sarangnya. Telaga sepi sehari, berduka atas kematian seekor betina dengan kesetiaannya.  Bahkan, masih tersisa bekas air mata disana,  pada sudut mata kenari yang masih terbuka.

Hari berduka tak  hanya sehari bagi pohon beringin tua, mulai hari itu dia berhenti menghisap hara dari akarnya, berusaha meranggas  tidak pada  waktunya. Sudah dua  hari ini ia terus melihat mata  kenari betina yang masih terbuka. Kesedihan apa yang lebih perih dari kesendirian bersama jasad yang mati dalam kesepian. Dia bersumpah, seperti Patih Pembesar Majapahit, Gajahmada yang bersumpah palapa untuk menyatukan Indonesia kuno, juga Drupadi yang tak akan memotong rambutnya sebelum para kurawa mati. Sumpah yang tak  main-main kurasa, akarnya akan berhenti menghisap hara hingga anak kecil yang datang membawa kantong plastik bijian mengunjunginya lagi, dan menguburkan jasad kenari betina itu sebagaimana mestinya. Anak kecil yang sama, yang meletakkan rumah coklat muda dan sepasang kenari itu untuk menemaninya. Anak yang sama, yang memberikan kebahagiaan sesaat untuknya, dengan duka  yang lebih panjang setelahnya. Usia anak itu dua puluhan tahun, yang dia yakin tak akan sampai pada usia  sepertinya, -karena itu dia menyebutnya  anak kecil-. Usahanya mulai berbuah. Bukan, aku tak sedang membicarakan tentang pohon yang berbuah, ini tentang sumpah beringin tua untuk meranggas. Daunnya mengering dan lepas satu-satu, dibiarkannya menutupi  raga kaku kenari betina. Hanya itu yang sanggup  dilakukannya saat ia tak sanggup menguburkan jasad kesepian itu dengan layak.

Tepat pada hari ke seratus, seminggu setelah hari duka  itu, aku datang. Tanpa tahu apa yang terjadi, melakukan semuanya seperti biasa. Berdiri di  bawah rumah burung coklat muda yang kupaku seratus hari yang lalu, menebarkan biji-bijian dari kantong plastik hitamku, dan duduk di tepi telaga. Semut-semut sudah mengintip dari kerajaan mereka di bawah akar beringin, menungguku pergi untuk kembali memungut biji. Sedang aku masih menunggu burung kenari kecilku turun kemari, menemaniku menghabiskan hari.

Angin datang kencang, kesal padaku yang tak  juga  menyadari ada jasad  yang masih tertimbun daun kering di dekatku. Iba pada beringin tua yang masih belum berhenti berpuasa, juga menangis mengingat kisah duka kenari betina. Dia terbangkan semua daun kering yang menjadi kasur empuk di bawah batang beringin tua  yang hampir tak berdaun, memperlihatkan jasad yang masih terbujur kaku disana. Mencoba menikamku dengan hembusan kuat, lebih seperti mencoba membunuhku kurasa. Tapi sia-sia, angin danau tidak diciptakan mematikan seperti kerabatnya  topan, atau puting beliung, dia jenis yang berbeda pada kerajaan angin, seperti membandingkan singa dengan kucing persia.

Kupejamkan mata menikmati angin kencang yang menerpa wajahku, lalu bersandar pada batang beringin tua botak, bersiap untuk tidur. Angin kencang di tempat seperti ini bukan hal yang aneh menurutku, dan ini benar-benar memanjakan. Kamu tentu akan mencintai tempat ini sama sepertiku, telaga yang sejuk, pohon beringin rimbun (walaupun sekarang dia lebih seperti seorang penderita kanker), berisik kicauan burung jantan yang sedang merayu betina, tempat  ini benar-benar damai.

Beringin tua menjatuhkan buahnya berkali-kali, sengaja membuatnya mengenaiku. Mencoba mencuri perhatianku untuk melihat jasad yang sudah tak lagi tertutup daun-daun yang dia korbankan. Kali ini dia berhasil, aku melihat jasad itu. Tentu saja aku terdiam, mengenai perasaanku saat itu, antara marah, sedih dan menyesal memberikan mereka pilihan hidup. Si Jantan dengan sangat bodohnya memilih meninggalkan betina kecilku, dan paruh kuning betina ini dengan sangat bodoh memilih untuk mati. Kesedihanku lebih besar dari amarah dan penyesalanku, kini aku ikut  berduka bersama  seluruh penghuni telaga.

Kuucapkan maaf sekali lagi pada beringin tua, setidaknya dengan yang satu  ini sudah dua kali aku melukainya. Pertama  saat kupaku rumah coklat muda itu, dan sekarang saat aku mencoba mematahkan ranting terendahnya. Semoga ini ranting yang mengering, hingga aku tak cukup menyakiti beringin tua  yang tak pernah aku tau bahwa saat itu dia berpuasa. Dengan ranting itu aku menguburkan kenari kuning betina  yang kuduga mati karena kesepian. Setelah terkubur, kutancapkan ranting itu di atas pusaranya, sekedar tanda jika suatu saat aku ingin mengunjunginya.
Telaga
Aku  baru mengenalnya. Tiga puluh hari lalu, saat pertama kali aku datang mengunjunginya. Setiap akhir pekan sekitar pukul tiga sore aku datang dan duduk di bawah sahabatnya, sebatang pohon beringin tua. Entah kenapa aku merasa pohon beringin tua ini yang paling bersahabat menerimaku di telaga ini, bukan pohon trembesi 300 meter di seberang telaga, apalagi lapangan ilalang sebelah kanannya. Aku tak menyukai keduanya. Pohon trembesi seperti tak suka aku duduk  di  bawahnya. Selalu saja dia menjatuhkan bunga-bunga kuningnya seperti ingin mengusirku lekas-lekas. Lebih-lebih sekawanan ilalang, mereka lebih bersahabat pada sepasangan kekasih yang akan menjalankan pernikahan dan berfoto di antara mereka, daripada aku yang hanya duduk dan tak melakukan apa-apa. Lagipula kawanan ilalang itu terlalu genit, mereka membuatku gatal.

Aku mengenal kakek beringin tua dan nenek telaga ini dari seorang gadis kesepian. Ah ya, mereka lebih seperti sepasang kekasih abadi daripada sepasang sahabat menurutku. Beringin tua yang kokoh kaku dan bijaksana, telaga yang begitu sejuk dan ramah, juga tak pernah berbohong padamu. Mengingatkan pada kakek nenek di kampung ayahku. Gadis kesepian yang mengenalkanku pada mereka tak pernah lagi datang berkunjung kemari. Leukimia melemahkan tubuhnya. Seolah menyerahkan tongkat kekuasaannya padaku sebelum tak lagi mampu ia membuka matanya. Aku sendiri berdoa dia tak menyerah  pada cobaan itu, dia gadis baik menurutku. Dia mengenalkanku pada telaga dan beringin tua, saat menyadari aku merasakan kesepian yang sama.

Seperti yang kukatakan padamu, telaga ini tak pernah berbohong. Seluruh isi telaga dapat kamu lihat tanpa satupun yang disembunyikan di dalamnya, sepenuhnya dia berikan. Ya, telaga itu  juga benar-benar berikan, telaga dan ikan memang hampir tak bisa dipisahkan. Entah apa rahasianya, satu  hal  yang  membuatku begitu mencintai telaga ini, kamu bisa melihat seluruh semesta telaga tanpa menggunakan alat bantu apapun. Aku tak  memintamu mengamini apa  yang kupikirkan, tapi bagiku telaga ini adalah hal paling jujur yang pernah dibangun manusia. Bahkan rumah tangga tak bisa dibangun sejujur ini, tentu saja setiap pasangan suami sitri berusaha melakukannya, tapi aku belum melihat yang benar-benar bisa. Tanyakan apa  saja tentang dirinya, dan dia  tak akan berdusta, kamu akan mendapatkan jawabannya bahkan sebelum dia menjawabmu.

Sore pertama saat aku berkenalan dengannya, aku duduk di bawah beringin tua, mengambil beberapa batu pipih dan melemparkannya ke dasar telaga. Batu itu meloncat dua tiga kali di permukaan telaga, lalu menyelam. Entah batu itu sedang riang, adikku yang sedang gembira selalu melompat-lompat seperti kelinci,  atau mungkin sedang tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.  Air memercik ke atas membentuk gelombang bulat dengan tempat terjunnya batu ke dasar telaga sebagai pusatnya. Aku senang memandang telaga, dia seperti ingin mengatakan sesuatu padaku. Atau mungkin dia yang sedang memandangiku, juga sebenarnya aku  yang ingin mengatakan semua isi otakku padanya, entahlah.

Setiap sore, seorang nelayan tua yang berlayar dengan perahu kecilnya. Perahu berdayung, bukan perahu mesin berasap, dia satu-satunya nelayan yang diijinkan mengail di sini. Aku sendiri belum mengetahui namanya, kurasa ia  juga tak akan mendengar teriakanku dari sini saat dia berada di tengah telaga sana. Ya dia mengail, bukan menjala atau  menggunakan potas. Padahal dengan bening airnya, akan sangat mudah baginya untuk menjala. Ikan disini tidak pernah bersembunyi, mereka cukup paham bahwa tak ada tempat untuk bersembunyi di telaga ini, telaga ini terlalu jujur untuk menyembunyikan mereka.

Kepercayaan yang diamini oleh nelayan tua ini juga sederhana dan luar biasa. Alam menyediakan semua yang diperlukan manusia untuk melanjutkan hidup, dan dengan kemurahan yang diberikan Tuhan kepadanya,  rasanya  tak bijak untuk mengambil berlebihan dan merusaknya. Maka dia mengambil ikan-ikan telaga ini hanya untuk menyambung hidup, dalam arti sebenarnya, dia hanya mengambil  secukupnya untuk disantap sebagai makan malam, untuknya dan seorang cucu semata wayang tercintanya. Tak pernah dia  berpikiran untuk  menjual  seisi telaga ini. Bagi seorang nelayan tua sepertinya, telaga ini temannya, lebih dari sekedar teman lama atau teman sedari kecil. Hati manusia baik hati mana yang tega memeras temannya  sendiri?

Sosoknya (nelayan tua itu) seakan membuktikan padaku, bahwa hidup ini sebenarnya tak butuh uang, pendidikan yang membutuhkannya. Oleh sebab itu dia bekerja pada peternakan ayam di ujung desa setiap pagi untuk menyekolahkan cucunya. Tak sepeserpun dia menikmati uang itu. Dia hanya makan dari telaga ini, dan pohon singkong yang ditanam sendiri di tepi telaga. Bibitnya ia dapat dari batang-batang singkong yang dibuang petani di ujung bukit, pun masih memohon ijin untuk memilikinya.

Telaga itu disana, memandang saat kenari jantan berjuang demi teman-teman barunya. Dia juga disana saat kenari yang sama terkapar dan jatuh kepadanya. Tak seorangpun tau, telaga juga yang meminta tujuh ekor lele menyambar jasad tak bernyawa, tak cukup tega ia  melihat si betina semakin bersedih melihat jasad kekasihnya yang tersisa. Ya, terkadang kenangan pahit lebih baik habis tak bersisa daripada menyisakan sedikit serpihan yang bisa membuatnya makin terluka. Tapi aku kesal padanya, pada telaga, dia tak menceritakan itu semua padaku, tak menceritakan apapun. Salahku juga yang tak menanyakan apapun kepadanya. Satu lagi keahliannya yang akhirnya aku tahu, dia penyimpan rahasia terbaik di dunia.

Pada hari yang sama saat seluruh penghuni telaga berduka, dia sudah berulangkali membujuk ikan-ikan agar menyerahkan diri mereka pada nelayan tua. Tak tega ia  membayangkan nelayan tua dan cucunya hanya makan daun singkong rebus dan nasi beras miskin -yang menjadi bayarannya karena menjaga telaga ini-. Setiap makhluk punya hak untuk memastikan nasibnya sendiri dan para ikan tetap pada pendirian mereka untuk menyepi barang sehari. Memang begitu perjanjian dari setiap penghuni telaga  ini, masing-masing mereka harus menghargai setiap keputusan penghuni yang lainnya. Telaga menyerah, besok dia akan memaksa para ikan untuk menyerahkan keluarga mereka lebih banyak pada nelayan tua. Meskipun telaga tau, nelayan tua  itu akan berhenti mengail saat telah mendapatkan barang tiga empat ekor. Setidaknya nelayan tua itu bisa pulang lebih cepat, untuk beristirahat. Biarlah hari ini nelayan tua  itu berpuasa, terpaksa ikut  berduka, pada hari kematian jantan kenari kuning, sang penghuni baru telaga.

Pohon beringin tua menjatuhkan daunnya pada telaga, saat aku bercerita tentang gadis  cantik yang kutelepon kemarin malam. Rupanya telaga bening ini menguping pembicaraan kami, aku juga tak  terlalu mempermasalahkannya, pun demikian dengan beringin tua. Bijak kokoh ini percaya bahwa telaga tak akan membocorkan apapun, juga pada siapapun. Telaga merekam semuanya dan akan tetap tersimpan disana, pada setiap bulir air di dalamnya. Daun itu masih mengambang hingga malam, dan masih saja memandang bulan,

” Aku ingin pergi ke dasar telaga, tak sanggup aku terus melihat pujaan hatiku di atas sana.” Kata daun memohon pada telaga.

“Suatu saat kamu akan berada di sana, dan akan menyesal karena telah menginginkannya,” jawab telaga. Bulir airnya mendinginkan hati daun kecil yang memupus asa, tentang mimpinya bersanding dengan bulan purnama.

Hari ke seratus satu setelah kejadian itu, daun kecil  itu benar-benar mencapai dasar telaga. Bukan benar-benar dasar telaga sebenarnya, pagi harinya saja daun itu tak  lagi berada di tengah telaga. Dia sudah berada di tepian telaga bersama beberapa batu, juga seekor kura-kura saat dia terbangun. Telaga itu mengering, jebol saat hujan datang terlalu lama seminggu itu. Ikan-ikan hanyut terkapar di atap rumah penduduk yang memang lebih rendah darinya. Kukatakan saja seluruh tanah itu kini dasar telaga, toh tak ada bedanya sekarang, bagaimana kamu mengartikan dasar untuk  telaga  tak berair?

Nasib nelayan tua? Nelayan tua itu kini kehilangan tempatnya mencari makan, pohon singkong yang dia tanam pun setengah menguning sekarang, tak sesubur saat telaga membantu dengan segala upayanya. Tidak, nelayan tua itu hanya termenung, bukan meratap seperti yang kamu kira. Meratap hanya akan menghilangkan harap, dia merenungi  telaga itu, untuknya, juga untuk cucunya -yang tak juga paham arti belaian tangan keriput kakeknya pada rambutnya, atau genggaman erat dan ciuman pada keningnya-. Bisa kupahami memang, anak sekecil itu tidak mempunyai banyak pengalaman tentang kenangan, juga kehilangan. Sedang aku kehilangan tiga sahabat yang baru kukenal  belum setahun ini, telaga dengan semua rekaman ceritaku pada tiap-tiap bulirnya dan sepasang kenari  kuning dengan pilihan kebebasannya. Kini tak ada lagi alasanku mengunjugi beringin tua, sepertinya dia kehilangan lebih banyak dariku. Pohon sebatang kara itu kehilangan nenek telaga, dan sepasang kenari kuning yang sama,  juga  seorang teman yang baru dikenalnya,  belum setahun.
 Catatan: cerpen ini hanya perbaikan dari cerpen berjudul sama yang saya buat pada tahun 2013. Tulisan saya dulu berantakan sekali, setidaknya yang satu ini jadi berantakan saja:)
Twitter Bird Gadget