Pohon
Beringin Tua
Sebatang
kara kayu
hidup pada tepi danau yang entah
apa namanya. Sebatang kara dan sebatang
kayu sepertinya kembar, mereka sama-sama sendirian. Kayu itu tak
bertuan, juga tak mempunyai pasangan.
Kerutan dahan yang kamu lihat padanya menafsirkan sedikit asa tentang
usia. Tak seperti kita, manusia, kerutan membuatnya terlihat semakin
kokoh
berdiri. Jangan menanyakan padaku, aku
pun tak tahu apa kerutan itu karena terendam air
terlalu lama seperti jari-jarimu, atau memang waktu yang membuat
dahan-dahannya berkerut. Tonjolan-tonjolan akarnya seperti penopang
bumi, menjadi sandaran bagi mereka yang sedang berkasih. Terkadang
hanya berteduh
dari amarah siang atau sesaat bercumbu pada dingin malam. Entah apa
sekarang
mereka, sepasang kekasih itu, masih bersama, atau malah telah lama
terpisah.
Atau bisa jadi mereka telah menikah, dengan orang yang berbeda. Tonjolan
yang
sama menjadi atap bagi kerajaan semut yang entah apakah kerajaan itu
bernama.
Sebut saja kerajaan itu sebagai Kerajaan-semut-tak-bernama.
Dahan terkuatnya
bahkan hanya terayun perlahan, menggetarkan daun kecil, juga udara di depanmu.
Sekedar menyibakkan sedikit anak rambut di kening lebarmu. Membuat matamu
menyipit menikmati gelitik angin karenanya, genit. Dia hanya ingin melihat
senyuman di matamu dan sedikit binar bibirmu. Kamu tentu mengerti,
dahannya tak selentur yang ia mau, jika mampu pasti ia mendekap. Tapi urung
ia memelukmu, selain tak lentur, ada ulat-ulat kecil yang sedang berjuang
menjadi ngengat pada daun-daunnya, tak tega ia mengganggu mereka. Bukan, bukan
karenamu dia enggan menjamah tubuhmu. Tidak semua hal di dunia ini selalu
berkaitan dengan dirimu, jangan merasa Tuhan tak adil hanya karena suatu hal yang
terjadi bukan tentangmu.
Sepasang kenari yang
kulepaskan kemarin membuat sarangnya di sana, pada sebuah rumah-rumahan coklat
muda. Kupaku disana, pada tubuh tua yang bahkan tak bergetah saat kupukulkan
gada diatas paku kecil, menancap tepat pada ketiak dahan terendahnya. Pada saat
yang sama daun-daunnya bergesek berisik. Mungkin menahan sakit yang baru
terjadi, atau berterima kasih karena memberi sepasang kenari kuning untuk
menemaninya. Aku tersenyum, kujawab perlahan,”
Aku hanya memberi dua kenari itu pilihan
hidup. Mereka yang akan menentukannya sendiri, menemanimu, mencari sarang baru,
atau berpisah. Aneh bukan? Memang bisa jadi begitu, bisa jadi mereka akan
bersamamu dan beranak pinak disini, atau meninggalkanmu, atau bisa juga malah
kalian bertiga akan saling meninggalkan. Ya, kalian bertiga, sepasang kenari
kuningku dan kamu, pohon beringin tua. Jalani
saja bersama mereka, selama bisa.” Angin lebih kencang bertiup, dahan
tertingginya merunduk. Aku paham, dia
mengangguk.
Sesaat aku tertidur
di bawahnya, pada satu akar paling besar yang menyatu pada tubuh pohon besar,
jika tak bisa kubilang raksasa. Aku tak pernah berani memanjat pohon. Di atas
sana kepalaku pusing, aku merasakan rotasi
dan revolusi sekaligus. Alasan logis
untuk jatuh dan patah kaki. Sepotong daun tergeletak pada kelopak mataku.
Kukatakan sepotong, karena angin yang memotong tangkai layunya hingga dia terjatuh disini, pada mataku.
Aneh, menurutku angin tak setajam itu hingga mampu memotong apapun sebenarnya.
Tapi sudahlah, kali ini dia berhasil. Daun itu sudah tak lagi menyatu dengan si
empunya.
Sebenarnya aku lebih suka menyebutnya sehelai.
Jika imajinasiku benar, maka daun adalah rambut dari sebatang pohon beringin,
maka aku menamainya sehelai, bisa saja kamu setuju, bisa juga tidak, yang pasti
Si pohon tua ini mengirimnya untuk menemaniku tertidur di bawahnya. Sekedar
menjaga kelopakku dari silau matahari. Dia begitu baik, padahal aku belum lama
mengenalnya.
Seminggu setelahnya
kulihat burung kenari itu tak lagi berdua, Si Jantan pergi. Entahlah, mungkin
tergoda oleh burung merpati, atau mungkin juga kutilang. Aku tetap duduk di
bawahnya, di bawah rumah coklat muda mereka, menyebarkan biji-bijian. Kemarin,
aku menyadari bahwa ulat-ulat ngengat itu
hilang dari daun-daun kecil. Mungkin kenari kuning yang kulepaskan minggu lalu
penyebabnya. Sejak itu aku berjanji menebarkan biji-bijian disini, memastikan
tidak ada lagi korban selain mereka. “Maafkan aku ulat, kalian tak sempat
berada pada akhir yang lebih indah, metamorfosa
kalian tak sampai sempurna, sungguh aku yang menanggung dosa ini.”
Janda kenari kuning itu melihatku.
Kusebut dia janda, anggap saja si pejantan itu sudah mati, toh dia juga tak akan kembali. Dia masih melihatku, mungkin
burung kecil ini bertanya kenapa, kupandangi lagi, ”Kadang seseorang menyadari
bahwa mereka tidak akan pernah bisa disatukan, kadang mereka sadar bahwa mereka
sangat berbeda, tapi beberapa keras kepala. Mungkin Jantan kuning itu bagian
dari mereka, para keras kepala. Biarkan saja, aku akan mengunjungimu seminggu
sekali.” Dia berkedip, masuk kembali pada rumahnya yang berwarna coklat muda.
Sedang aku masih duduk disana, memandang telaga. Kantong bijianku sudah kosong.
Sudah beberapa bulan aku tak mengunjungi mereka, kenari yang
kini sendirian dan pohon beringin tua, semoga mereka baik-baik saja. Ah, jika kukatakan padamu alasanku tidak
datang ke tempat ini selama beberapa bulan tentu kamu akan menertawakanku, jadi
lebih baik kusimpan sendiri saja alasannya. Lebih penting bagiku mengetahui
bahwa hari ini aku bisa kembali kesana, tidak lupa kubawa kantong bijiku. Sebenarnya
aku tak begitu berharap burung kenari kecilku itu masih di sana. Bukan salahnya
jika tak sanggup menghadapi kesendirian semacam itu.
Entah kenapa hari ini si tua terasa lebih muram dari
biasanya, terlalu banyak daun kering disana. Dahan-dahan besarnya kini terlihat
lebih perkasa. Tonjolan-tonjolan kambiumnya yang menggelembung tak lagi
tertutupi daun kecil rimbunnya seperti biasa. Begitu sampai, hal yang
kuperhatikan pertama kali adalah telaga, tapi tak mengering seperti yang
kuduga, jelas bukan kekeringan penyebab rambut pohon tua ini gugur menguning.
Jelas saja telaga ini tak mengering, sekarang musim penghujan. Aneh, tak
seharusnya pohon sebesar ini meranggas. Kuperkirakan dengan tubuh sebesar ini
akarnya pasti tertancap cukup dalam jika hanya untuk mencari air. Aku kembali duduk di bawahnya,
di bawah rumah-rumahan coklat muda yang sama. Saat kutebar biji-bijian seperti
biasa, dia tak muncul. Siapa lagi yang
menurutmu sedang kutunggu, tentu saja
kenari kecilku. Mungkin dia
sedang menimba air.
Pikiranku masih
berjalan-jalan ke berbagai tempat, memikirkan berbagai hal tentang tempat ini.
Tentang alasan pohon beringin tua meranggas pada musim penghujan, juga cara
kenari kecil betina yang kesepian itu menimba air. Tak lama, angin menyibak daun
kering diantara akar yang melintang, tak jauh dari tempatku duduk sekarang. Ada
sebujur kaku tubuh disana. Kepalanya menoleh ke kiri sedang kaki kecilnya seperti
ingin hinggap diatas angin, tak berpijak pada apapun. Aku mengenalinya sebagai
kenari kuning milikku. Pohon beringin tua berduka, kenari kuning sudah terbujur
tak bernyawa. Aku yakin beringin bijaksana ini sudah mengetahui semuanya. Perkiraanku,
pohon beringin tua ini juga yang memotong daun-daunnya untuk menutup bujur kaku
bulu tanpa ruh itu pada mulanya. Hanya itu yang dapat dia lakukan untuk
menutupi mata kenari kuning yang masih basah pada ujungnya, tak tega ia melihat
mata itu, masih jelas bekas air mata disana. Pada saat yang sama, tak mampu ia
menguburkannya dengan layak. Janda kenari kuning yang ditinggalkan kekasih,
mati dalam sepi. Kini, pohon beringin tua kembali sendiri.
Aku melongok ke dalam
rumah coklat muda burung kenari yang telah kosong. Disana, bertebaran buah-buah
beringin yang telah menghitam, juga tiga helai daun beringin yang mengering.
Entah apa yang dipikirkan si betina. Mungkin dia terus menghitung hari sejak
kehilangan paruh terkasihnya. Kubiarkan saja ruangan kosong itu seperti sebelumnya. Di sana, kenangan mereka akan tetap seperti
sebelum mereka pergi meninggalkan rumah coklatnya, juga pohon beringin tua.
Pohon beringin ini
kembali kesepian. Dan aku mulai berbicara padanya, ”kemarin malam aku
bercengkrama dengan seorang putri, dia cantik, sangat baik. Pekerja keras yang
tak pernah ku tahu darimana dia mempunyai energi
sebanyak itu. Dia bertanya padaku, apa ada hal yang ingin kukatakan padanya
sebelum mengakhiri percakapan, dan aku terdiam. Prajurit kecil sepertiku
terlalu banyak bermain dengan pedang, gada, dan panah. Tak pandai aku
berbicara, dan ketika gugup, makin bodohlah otakku ini dibuatnya. Tak lama
kemudian dia tertidur dan aku masih saja terdiam. Baru aku sadar, kenapa tak
kukatakan saja aku mulai menyayanginya, selesai perkara!!!” Mendengar
celotehanku sore itu, pohon beringin tua menerbangkan satu daunnya ke angkasa.
Sepertinya dia ingin mencapai bulan,
tapi beberapa saat kemudian rambutnya itu jatuh pada telaga. Aku mengerti, akan
kuikuti takdirku. Semoga dia telagaku, bukan bulan yang tak akan sanggup kurengkuh.
Kenari
Kuning
Awalnya mereka adalah sepasang kenari kuning yang
berdiam pada sangkar besar di depan rumah milikku. Aku sendiri tak pernah
benar-benar mengetahui apa mereka bahagia. Tapi jika kalian bertanya menurut
perkiraanku, kurasa ya, mereka bahagia. Mereka punya persediaan makanan yang
cukup, rumah berteduh tanpa atap bocor
di dalamnya, jerami yang selalu hangat
di dalam rumah-rumahan kayu mereka, juga pasangan berwarna sama, apa lagi yang kamu harapkan dari dunia burung
selain itu semua. Setidaknya jika hal itu didapatkan oleh orang sepertiku, aku sudah cukup bahagia.
Kenyataannya, tak ada
yang benar-benar bebas dalam hidup kita. Kita
dikurung oleh sebuah sangkar yang tak bisa dilihat. Pekerjaan,
peraturan-peraturan yang terkadang membuat tangan dan kaki kalian benar-benar
ingin melanggarnya, di otakku adalah sangkar kita. Aku hanya berpikir ada
satu hal yang belum pernah mereka
rasakan di hidup mereka, sebuah kebebasan.
Mereka tidak pernah memilih akan seperti apa hidup mereka.
Akhirnya aku
menemukan satu hal yang menjadi perbedaan antara aku dan mereka. Aku memilih
jalan hidupku, karenanya aku tetap menjalani hidup dan bentuk kurunganku.
Karena aku yang memilihnya. Sedangkan mereka hanya mengikuti apa yang
kupilihkan sebagai jalannnya. Lalu
kuputuskan untuk memberikan pilihan itu pada mereka. Ya, biarpun pilihan
kebebasan itu tetap saja pemberianku. Tapi sudahlah, setidaknya kali ini
kubiarkan mereka memilih.
Hari ini aku
mengunjungi pohon beringin tua di tepi telaga. Ada sesuatu yang kubawa kali
ini, sepasang kenari, sekotak perkakas, dan rumahnya yang berwarna coklat muda.
Sepasang kenari yang tampak kebingungan dengan daerah baru mereka. Sejak awal
aku datang ke sini, mereka tampak
kebingungan dengan apa yang mereka
lihat. Jika nanti mereka tenggelam, rasanya mereka tak akan bisa selamat. Sayap
mereka tak pernah diciptakan untuk berjuang di dalam air. Sekotak perkakas,
lebih seperti kantong ajaib milik robot kucing dari masa depan ketika aku
berusia tak sampai sepuluh. Ayahku selalu membawanya ketika mainanku rusak dan
dia selalu berhasil menyulapnya seperti tidak ada hal yang pernah terjadi pada
mainanku. Setelah mengambil peralatan dari kotak itu, semuanya kembali seperti
baru. Juga rumah kenari coklat muda. Entahlah, sudah berwarna seperti itu saat
pertama kali aku membelinya dari seorang janda.
Kupaku rumah kenari
coklat muda pada ketiak pohon yang mampu kugapai. Aku memang tidak membawa tangga, juga tak
merencanakan membawanya. Aku
pusing pada ketinggian, lebih terhormat daripada aku mengatakan aku takut, kan? Mulutku berucap, meminta maaf pada
beringin tua saat kupaksakan besi tajam itu menembus tubuhnya. Tak
bergetah, juga tak bersuara, padahal aku
saja menangis saat pertama kali jarum suntik menembus kulitku, yang tentu saja
berdarah sedikit setelahnya. Entah dengan apa dia bekap mulutnya, tapi yang
pasti tak sedikitpun aku mendengar jeritan darinya. Dia tetap kokoh berdiri di
depanku, dan rumah kenari coklat muda itu sudah terpasang di atas sana
sekarang.
Pintu sangkar bambu sepasang
kenari kuningku sudah terbuka, entah sejak kapan. Aku heran, mereka tidak
terbang. Mungkin sudah terbiasa dengan sangkar sempit mereka di rumah. Mereka
tak tahu bahwa angkasa lebih luas dan
indah dari yang mereka pikirkan. Terlalu
lama terkurung membuatmu berpikir dunia hanya seluas sangkar sempitmu, berpikir bahwa kamu sudah tidak mungkin lagi keluar
dari sana. Kuulurkan jari telunjukku dan mereka hinggap di sana sekarang, aku
mulai berbicara pada mereka, tak peduli apa sebenarnya mereka mengerti atau
tidak. Rasanya bahkan tak satupun dari kata-kataku yang mengambil perhatian
mereka. Mereka benar-benar tidak peduli.
“Sekarang tentukan
sendiri nasib kalian, tak pantas rasanya aku mengurung kalian pada sangkar bambu ini.” Kuletakkan mereka satu-satu pada
rumah coklat itu kemudian aku berpamitan pada beringin tua,
hari ini aku tak bisa terlalu lama di
sana.
Si jantan yang
pertama keluar dari rumahnya, berjingkat berkeliling. Dia belum menyadari kebebasannya,
hanya merasa berada pada sangkar yang lebih besar sekarang. Satu buah beringin
jatuh mengenai kepalanya, sebuah sapaan perkenalan hangat dari sebatang (kara) beringin
tua. Dia mulai berkicau, memanggil betinanya
untuk menemaninya,
“Sayang, keluarlah
dan lihat sangkar baru kita. Sangkar ini lebih bagus dari rumah kita
sebelumnya, jerujinya mahal agaknya,
kasat mata.” Kicaunya sambil terus
berjingkat.
Sedang si betina masih tak peduli. Terlalu
lelah ia tak tidur semalaman, kemarin hari Kamis. Ditambah perjalanan panjang
yang harus dilalui tadi, kepalanya benar-benar pusing sekarang. Ulat-ulat ngengat
memandang kenari jantan itu sambil terus mengunyah daun, tak begitu peduli
mereka pada kehadiran penghuni baru di pohon mereka. Mereka terlalu sibuk makan,
tiga hari lagi mereka harus sudah menjadi kepompong.
Sudah tiga malam dan
empat sore sejak kubebaskan mereka disana, mereka berdua sudah berkenalan
dengan beringin tua, telaga, juga dengan ulat-ulat ngengat yang tak berhenti
mengunyah. Besok ulat-ulat kecil itu akan mulai menenun kepompong kerasnya. Sedang
sepasang kenariku, masih sibuk mengumpulkan rumput untuk penghangat rumah mereka. Daun-daun beringin yang
kuletakkan dalam rumah mereka basah ternyata, bukan alas yang nyaman untuk
menghadapi musim hujan yang dingin seperti sekarang. Sudah banyak cerita yang
mereka dengar di sana, tentang cita-cita besar para ulat yang ingin segera menjadi
ngengat, tentang telaga yang tak pernah berbohong, juga tentang beringin dan
sejoli-sejoli yang pernah singgah
disana. Kudengar salah satu dari sejoli itu segera menikah setelah si perempuan
mengandung, beberapa lainnya pergi pada dukun jahat untuk memotong-motong tubuh
yang belum genap sembilan bulan.
Pada hari keempat, delapan
ekor kutilang singgah pada tepian telaga. Mungkin hanya sebuah kebetulan saat
mereka hinggap pada beringin tua. Suami istri kenari menyambut mereka dengan sangat
ramah, tak setiap hari mereka kedatangan tamu. Mereka berdua berkicau
bersahutan, selayaknya kenari, dan para kutilang acuh. Mereka lapar dan tidak
tertarik pada buah beringin yang berwarna merah itu, sesaat kemudian mereka
mulai memakan ulat-ulat ngengat, satu-satu. Bukan kebiasaan kutilang makan
ulat, bukan untuk makanan seperti itu paruh mereka diciptakan Tuhan. Entah
kenapa ulat-ulat itu juga tidak berteriak, pun tak berlari menjauh, tetap saja
makan. Seakan menunggu kematian yang sudah mereka perkirakan.
Kenari jantan mengamuk, teringat cita-cita tinggi
para ulat ngengat. Mimpi yang akan
segera mereka kejar esok pagi, satu persatu kehilangan kesempatannya
masing-masing, oleh kematian. Entah darimana keberanian itu datang, kenari jantan mulai mematuk, menyerang para
kutilang. Dia sendirian, terlalu kecil bagi enam kutilang kelaparan. Tak butuh
waktu lama bagi kenari jantan itu untuk mengakui kekalahannya. Pertengkaran
yang tak seimban. Jantan itu mati, dan terjatuh menyatu dalam telaga. Tujuh
ekor lele gesit menyambarnya, dia tenggelam, tak mengambang seperti jasad
kebanyakan. Hilang sudah cita-cita para ulat ulat ngengat, juga nyawa
seekor kenari, yang baru menikmati sebuah kebebasan baru
empat hari.
Apa kalian menyadari
ada dua ekor kutilang yang tak ikut dalam pembantaian sadis itu? Dua ekor
kutilang yang menghilang itu adalah sepasang suami istri, mereka lebih memilih
lapar dan saling bercerita di balik batu pada sisi lain telaga. Bagus bagi
mereka, setidaknya mereka tidak ikut menanggung kutuk dari paruh kenari betina
milikku.
Hari keenam saat aku
kembali kesana, aku sudah melihat si betina sendirian. Dia memandangku, mengatakan
bahwa kekasihnya mati menjadi pahlawan. Dia tahu aku tak mengerti, juga salah
mengartikan apa yang dia
sampaikan. Menyerah, kenari
betinaku kembali masuk ke
sarangnya dan menangis. Sesekali dia mengintip keluar, melihatku duduk di bawah rumahnya
sambil melempar biji-bijian dari kantong plastik berwarna hitam. Lalu dia kembali
meringkuk, menangis hingga tertidur.
Semut-semut hitam
mengangkut biji-bijian yang kutebarkan kemarin. Persembahan untuk ratu mereka yang
tak berhenti bertelur sejak sebulan yang
lalu. Bukan pekerjaan berat untuk
mereka, jumlah mereka jauh lebih banyak
dari jumlah biji yang kusebarkan dan juga mereka tak memerlukan ijinku untuk
memungutnya, toh aku juga
tak mengetahui siapa yang pada akhirnya memakan biji-biji itu. Tentu
saja setelah kutebarkan kemarin, alam memilikinya, tak jadi masalah perut mana
yang kenyang karenanya.
Kenari kuning betinaku
masih meringkuk di dalam rumah coklat
muda yang kubuatkan untuknya, dia sudah tak ingin lagi melihat dunia.
Pohon beringin menemaninya, sesekali
melemparkan buahnya ke dalam rumah coklat muda, tak satupun
tersentuh oleh paruh sang betina yang
mulai berlumut.
Pada hari ke sembilan
puluh tiga, kenari betina keluar dari rumahnya dengan tubuh lemah,
terjatuh pada celah akar beringin tua. Regang sudah sebuah nyawa bersama air
mata terakhir yang sempat menetes dari mata kecilnya. Hari itu seluruh semesta
tepi telaga berduka, seluruh mulut ikan terkatup, tak satupun dari mereka mau
menyangkutkan bibir mereka pada kail nelayan tua yang sudah empat puluh lima
tahun mengail di sana. Sepertinya malam
ini cucunya harus bersantap daun singkong lagi, seluruh hewan masuk pada
sarangnya. Telaga sepi sehari, berduka atas kematian seekor betina dengan
kesetiaannya. Bahkan, masih tersisa
bekas air mata disana, pada sudut mata
kenari yang masih terbuka.
Hari berduka tak hanya sehari bagi pohon beringin tua, mulai
hari itu dia berhenti menghisap hara dari akarnya, berusaha meranggas tidak pada
waktunya. Sudah dua hari ini ia
terus melihat mata kenari betina yang
masih terbuka. Kesedihan apa yang lebih perih dari kesendirian bersama jasad
yang mati dalam kesepian. Dia bersumpah, seperti Patih Pembesar Majapahit, Gajahmada
yang bersumpah palapa untuk menyatukan Indonesia kuno, juga Drupadi yang tak
akan memotong rambutnya sebelum para kurawa mati. Sumpah yang tak main-main kurasa, akarnya akan berhenti menghisap
hara hingga anak kecil yang datang membawa kantong plastik bijian mengunjunginya
lagi, dan menguburkan jasad kenari betina itu sebagaimana mestinya. Anak kecil
yang sama, yang meletakkan rumah coklat muda dan sepasang kenari itu untuk
menemaninya. Anak yang sama, yang memberikan kebahagiaan sesaat untuknya,
dengan duka yang lebih panjang
setelahnya. Usia anak itu dua puluhan tahun, yang dia yakin tak akan sampai
pada usia sepertinya, -karena itu dia
menyebutnya anak kecil-. Usahanya mulai
berbuah. Bukan, aku tak sedang membicarakan tentang pohon yang berbuah, ini
tentang sumpah beringin tua untuk meranggas. Daunnya mengering dan lepas
satu-satu, dibiarkannya menutupi raga
kaku kenari betina. Hanya itu yang sanggup
dilakukannya saat ia tak sanggup menguburkan jasad kesepian itu dengan
layak.
Tepat pada hari ke
seratus, seminggu setelah hari duka itu,
aku datang. Tanpa tahu apa yang terjadi, melakukan semuanya seperti biasa. Berdiri
di bawah rumah burung coklat muda yang
kupaku seratus hari yang lalu, menebarkan biji-bijian dari kantong plastik
hitamku, dan duduk di tepi telaga. Semut-semut sudah mengintip dari kerajaan
mereka di bawah akar beringin, menungguku pergi untuk kembali memungut biji.
Sedang aku masih menunggu burung kenari kecilku turun kemari, menemaniku
menghabiskan hari.
Angin datang kencang,
kesal padaku yang tak juga menyadari ada jasad yang masih tertimbun daun kering di dekatku.
Iba pada beringin tua yang masih belum berhenti berpuasa, juga menangis
mengingat kisah duka kenari betina. Dia terbangkan semua daun kering yang
menjadi kasur empuk di bawah batang beringin tua yang hampir tak berdaun, memperlihatkan jasad
yang masih terbujur kaku disana. Mencoba menikamku dengan hembusan kuat, lebih
seperti mencoba membunuhku kurasa. Tapi sia-sia, angin danau tidak diciptakan
mematikan seperti kerabatnya topan, atau
puting beliung, dia jenis yang berbeda pada kerajaan angin, seperti membandingkan
singa dengan kucing persia.
Kupejamkan mata
menikmati angin kencang yang menerpa wajahku, lalu bersandar pada batang
beringin tua botak, bersiap untuk tidur. Angin kencang di tempat seperti ini
bukan hal yang aneh menurutku, dan ini benar-benar memanjakan. Kamu tentu akan
mencintai tempat ini sama sepertiku, telaga yang sejuk, pohon beringin rimbun (walaupun
sekarang dia lebih seperti seorang penderita kanker), berisik kicauan burung jantan yang sedang merayu betina, tempat ini benar-benar damai.
Beringin tua
menjatuhkan buahnya berkali-kali, sengaja membuatnya mengenaiku. Mencoba
mencuri perhatianku untuk melihat jasad yang sudah tak lagi tertutup daun-daun
yang dia korbankan. Kali ini dia berhasil, aku melihat jasad itu. Tentu saja
aku terdiam, mengenai perasaanku saat itu, antara marah, sedih dan menyesal
memberikan mereka pilihan hidup. Si Jantan dengan sangat bodohnya memilih
meninggalkan betina kecilku, dan paruh kuning betina ini dengan sangat bodoh
memilih untuk mati. Kesedihanku lebih besar dari amarah dan penyesalanku, kini
aku ikut berduka bersama seluruh penghuni telaga.
Kuucapkan maaf sekali
lagi pada beringin tua, setidaknya dengan yang satu ini sudah dua kali aku melukainya.
Pertama saat kupaku rumah coklat muda
itu, dan sekarang saat aku mencoba mematahkan ranting terendahnya. Semoga ini
ranting yang mengering, hingga aku tak cukup menyakiti beringin tua yang tak pernah aku tau bahwa saat itu dia
berpuasa. Dengan ranting itu aku menguburkan kenari kuning betina yang kuduga mati karena kesepian. Setelah
terkubur, kutancapkan ranting itu di atas pusaranya, sekedar tanda jika suatu
saat aku ingin mengunjunginya.
Telaga
Aku baru mengenalnya. Tiga puluh hari lalu, saat
pertama kali aku datang mengunjunginya. Setiap akhir pekan sekitar pukul tiga
sore aku datang dan duduk di bawah sahabatnya, sebatang pohon beringin tua.
Entah kenapa aku merasa pohon beringin tua ini yang paling bersahabat
menerimaku di telaga ini, bukan pohon trembesi 300 meter di seberang telaga,
apalagi lapangan ilalang sebelah kanannya. Aku tak menyukai keduanya. Pohon
trembesi seperti tak suka aku duduk
di bawahnya. Selalu saja dia
menjatuhkan bunga-bunga kuningnya seperti ingin mengusirku lekas-lekas.
Lebih-lebih sekawanan ilalang, mereka lebih bersahabat pada sepasangan kekasih
yang akan menjalankan pernikahan dan berfoto di antara mereka, daripada aku
yang hanya duduk dan tak melakukan apa-apa. Lagipula kawanan ilalang itu
terlalu genit, mereka membuatku gatal.
Aku mengenal kakek
beringin tua dan nenek telaga ini dari seorang gadis kesepian. Ah ya, mereka lebih seperti sepasang
kekasih abadi daripada sepasang sahabat menurutku. Beringin tua yang kokoh kaku
dan bijaksana, telaga yang begitu sejuk dan ramah, juga tak pernah berbohong
padamu. Mengingatkan pada kakek nenek di kampung ayahku. Gadis kesepian yang
mengenalkanku pada mereka tak pernah lagi datang berkunjung kemari. Leukimia melemahkan tubuhnya. Seolah menyerahkan
tongkat kekuasaannya padaku sebelum tak lagi mampu ia membuka matanya. Aku
sendiri berdoa dia tak menyerah pada
cobaan itu, dia gadis baik menurutku. Dia mengenalkanku pada telaga dan
beringin tua, saat menyadari aku merasakan kesepian yang sama.
Seperti
yang
kukatakan padamu, telaga ini tak pernah berbohong. Seluruh isi telaga
dapat
kamu lihat tanpa satupun yang disembunyikan di dalamnya, sepenuhnya dia
berikan. Ya, telaga itu juga benar-benar
berikan, telaga dan ikan memang hampir tak bisa dipisahkan. Entah apa
rahasianya, satu hal yang
membuatku begitu mencintai telaga ini, kamu bisa melihat seluruh semesta
telaga tanpa menggunakan alat bantu apapun. Aku tak memintamu mengamini
apa yang kupikirkan, tapi bagiku telaga ini
adalah hal paling jujur yang pernah dibangun manusia. Bahkan rumah
tangga tak
bisa dibangun sejujur ini, tentu saja setiap pasangan suami sitri
berusaha
melakukannya, tapi aku belum melihat yang benar-benar bisa. Tanyakan
apa saja tentang dirinya, dan dia tak akan berdusta, kamu akan
mendapatkan
jawabannya bahkan sebelum dia menjawabmu.
Sore pertama saat aku
berkenalan dengannya, aku duduk di bawah beringin tua, mengambil beberapa batu
pipih dan melemparkannya ke dasar telaga. Batu itu meloncat dua tiga kali di
permukaan telaga, lalu menyelam. Entah batu itu sedang riang, adikku yang
sedang gembira selalu melompat-lompat seperti kelinci, atau mungkin sedang tak bisa mengendalikan
dirinya sendiri. Air memercik ke atas
membentuk gelombang bulat dengan tempat terjunnya batu ke dasar telaga sebagai
pusatnya. Aku senang memandang telaga, dia seperti ingin mengatakan sesuatu
padaku. Atau mungkin dia yang sedang memandangiku, juga sebenarnya aku yang ingin mengatakan semua isi otakku
padanya, entahlah.
Setiap sore, seorang
nelayan tua yang berlayar dengan perahu kecilnya. Perahu berdayung, bukan
perahu mesin berasap, dia satu-satunya nelayan yang diijinkan mengail di sini.
Aku sendiri belum mengetahui namanya, kurasa ia
juga tak akan mendengar teriakanku dari sini saat dia berada di tengah
telaga sana. Ya dia mengail, bukan menjala atau
menggunakan potas. Padahal
dengan bening airnya, akan sangat mudah baginya untuk menjala. Ikan disini tidak
pernah bersembunyi, mereka cukup paham bahwa tak ada tempat untuk bersembunyi
di telaga ini, telaga ini terlalu jujur untuk menyembunyikan mereka.
Kepercayaan yang
diamini oleh nelayan tua ini juga sederhana dan luar biasa. Alam menyediakan
semua yang diperlukan manusia untuk melanjutkan hidup, dan dengan kemurahan
yang diberikan Tuhan kepadanya,
rasanya tak bijak untuk mengambil
berlebihan dan merusaknya. Maka dia mengambil ikan-ikan telaga ini hanya untuk
menyambung hidup, dalam arti sebenarnya, dia hanya mengambil secukupnya untuk disantap sebagai makan
malam, untuknya dan seorang cucu semata wayang tercintanya. Tak pernah dia berpikiran untuk menjual
seisi telaga ini. Bagi seorang nelayan tua sepertinya, telaga ini
temannya, lebih dari sekedar teman lama atau teman sedari kecil. Hati manusia
baik hati mana yang tega memeras temannya
sendiri?
Sosoknya (nelayan tua
itu) seakan membuktikan padaku, bahwa hidup ini sebenarnya tak butuh uang,
pendidikan yang membutuhkannya. Oleh sebab itu dia bekerja pada peternakan ayam
di ujung desa setiap pagi untuk menyekolahkan cucunya. Tak sepeserpun dia
menikmati uang itu. Dia hanya makan dari telaga ini, dan pohon singkong yang ditanam
sendiri di tepi telaga. Bibitnya ia dapat dari batang-batang singkong yang
dibuang petani di ujung bukit, pun
masih memohon ijin untuk memilikinya.
Telaga itu disana,
memandang saat kenari jantan berjuang demi teman-teman barunya. Dia juga disana
saat kenari yang sama terkapar dan jatuh kepadanya. Tak seorangpun tau, telaga juga
yang meminta tujuh ekor lele menyambar jasad tak bernyawa, tak cukup tega
ia melihat si betina semakin bersedih
melihat jasad kekasihnya yang tersisa. Ya, terkadang kenangan pahit lebih baik
habis tak bersisa daripada menyisakan sedikit serpihan yang bisa membuatnya
makin terluka. Tapi aku kesal padanya, pada telaga, dia tak menceritakan itu
semua padaku, tak menceritakan apapun. Salahku juga yang tak menanyakan apapun
kepadanya. Satu lagi keahliannya yang akhirnya aku tahu, dia penyimpan rahasia
terbaik di dunia.
Pada
hari yang sama
saat seluruh penghuni telaga berduka, dia sudah berulangkali membujuk
ikan-ikan
agar menyerahkan diri mereka pada nelayan tua. Tak tega ia membayangkan
nelayan tua dan cucunya hanya
makan daun singkong rebus dan nasi beras miskin -yang menjadi bayarannya
karena
menjaga telaga ini-. Setiap makhluk punya hak untuk memastikan nasibnya
sendiri
dan para ikan tetap pada pendirian mereka untuk menyepi barang sehari.
Memang
begitu perjanjian dari setiap penghuni telaga
ini, masing-masing mereka harus menghargai setiap keputusan penghuni
yang lainnya. Telaga menyerah, besok dia akan memaksa para ikan untuk
menyerahkan keluarga mereka lebih banyak pada nelayan tua. Meskipun
telaga tau,
nelayan tua itu akan berhenti mengail
saat telah mendapatkan barang tiga empat ekor. Setidaknya nelayan tua
itu bisa
pulang lebih cepat, untuk beristirahat. Biarlah hari ini nelayan tua
itu berpuasa, terpaksa ikut berduka, pada hari kematian jantan kenari
kuning, sang penghuni baru telaga.
Pohon beringin tua
menjatuhkan daunnya pada telaga, saat aku bercerita tentang gadis cantik yang kutelepon kemarin malam. Rupanya
telaga bening ini menguping pembicaraan kami, aku juga tak terlalu mempermasalahkannya, pun demikian
dengan beringin tua. Bijak kokoh ini percaya bahwa telaga tak akan membocorkan
apapun, juga pada siapapun. Telaga merekam semuanya dan akan tetap tersimpan
disana, pada setiap bulir air di dalamnya. Daun itu masih mengambang hingga
malam, dan masih saja memandang bulan,
” Aku ingin pergi ke
dasar telaga, tak sanggup aku terus melihat pujaan hatiku di atas sana.” Kata
daun memohon pada telaga.
“Suatu saat kamu akan
berada di sana, dan akan menyesal karena telah menginginkannya,” jawab telaga.
Bulir airnya mendinginkan hati daun kecil yang memupus asa, tentang mimpinya
bersanding dengan bulan purnama.
Hari ke seratus satu
setelah kejadian itu, daun kecil itu
benar-benar mencapai dasar telaga. Bukan benar-benar dasar telaga sebenarnya,
pagi harinya saja daun itu tak lagi
berada di tengah telaga. Dia sudah berada di tepian telaga bersama beberapa
batu, juga seekor kura-kura saat dia terbangun. Telaga itu mengering, jebol
saat hujan datang terlalu lama seminggu itu. Ikan-ikan hanyut terkapar di atap
rumah penduduk yang memang lebih rendah darinya. Kukatakan saja seluruh tanah
itu kini dasar telaga, toh tak ada
bedanya sekarang, bagaimana kamu mengartikan dasar untuk telaga
tak berair?
Nasib nelayan tua?
Nelayan tua itu kini kehilangan tempatnya mencari makan, pohon singkong yang
dia tanam pun setengah menguning sekarang, tak sesubur saat telaga membantu
dengan segala upayanya. Tidak, nelayan tua itu hanya termenung, bukan meratap
seperti yang kamu kira. Meratap hanya akan menghilangkan harap, dia
merenungi telaga itu, untuknya, juga
untuk cucunya -yang tak juga paham arti belaian tangan keriput kakeknya pada
rambutnya, atau genggaman erat dan ciuman pada keningnya-. Bisa kupahami
memang, anak sekecil itu tidak mempunyai banyak pengalaman tentang kenangan,
juga kehilangan. Sedang aku kehilangan tiga sahabat yang baru kukenal belum setahun ini, telaga dengan semua rekaman
ceritaku pada tiap-tiap bulirnya dan sepasang kenari kuning dengan pilihan kebebasannya. Kini tak
ada lagi alasanku mengunjugi beringin tua, sepertinya dia kehilangan lebih
banyak dariku. Pohon sebatang kara itu kehilangan nenek telaga, dan sepasang
kenari kuning yang sama, juga seorang teman yang baru dikenalnya, belum setahun.
Catatan:
cerpen ini hanya perbaikan dari cerpen berjudul sama yang saya buat
pada tahun 2013. Tulisan saya dulu berantakan sekali, setidaknya yang
satu ini jadi berantakan saja:)