Wednesday, October 15, 2014

Tiga Catatan Setelah Bermimpi Buruk

I.
Kamu pernah mimpi buruk sebelum tidur tidak?
Dulu aku tidak pernah tidak.
Mimpi-mimpi buruk datang berjingkat dan duduk di tepian otak,
Lalu bersandar rendah pada pinggiran pundak.
Bersama kenangan, mereka datang membawa sekantong besar masa lalu,
Memasukkannya lagi dalam kepalaku, satu-satu.

II

Waktu yang seperti itu selalu menyanggahku perihal kenyataan juga mimpi
Di sela-selanya terpancang tugu-tugu kenangan tegak berdiri.
Terikat dengan tali-tali ingatan begitu rapi.
Di sana tertulis tentang semua hal yang kamu anggap mati
Juga sebesar apa diriku kamu benci
Sekiranya aku peduli, 
Lebih kupilih menyusupkan beberapa anak-anak puisi
Agar mereka terus mengingatkanmu seberapa mudah kamu pergi

III

Begini saja, kita buat sebuah perjanjian;
Akan menjadi hakmu semua yang tertulis dalam kenangan
dan adalah milikku semua yang terikat ingatan,
tentang anak-anak puisi yang kususupkan?
Mereka sudah tumbuh besar di sela-sela mata yang pejam
Lalu menghilang setelah habis malam


Oktober, 2014

Wednesday, August 13, 2014

Lampu merah

Sering kali, kamu -juga aku terlihat sangat tergesa.
kita berada di jalanan yang penuh sesak dengan mobil-mobil konglomerat di belakang garis lampu merah.
Menanti-nanti waktu dan berebut meninggalkan masa lalu.
Kemudian beberapa meter setelahnya kamu sadar, di depanmu selalu ada lampu merah yang lain,
mereka menantimu.
Mereka tidak sepertimu, mereka hanya diam dan kamu selalu datang padanya.
Kali yang lain kamu mulai menggerutu karena harus berhenti dan kembali menunggu.
Bahkan mereka tidak bertanya padamu dimana letak permasalahan dari sesuatu yang kamu sebut menunggu?

Tak lama -tak pernah lama, asap asap knalpot akan berlomba-lomba mengasapi knalpot yang lainnya,
membuktikan siapa yang lebih kencang. berharap pohon-pohon trembesi di pinggir jalan mengagumi kecepatan.
dan lampu merah itu tetap tidak bertanya,
Kenapa kamu begitu berkeinginan untuk pergi sekali lagi?

Kamu tidak pernah tahu, lampu merah yang mana yang mencintaimu,
coba saja hitung detiknya, barangkali suatu saat terasa lebih cepat,
atau lebih lambat barang sedetik dua detik.
Mungkin mereka yang mencintaimu,
mengetahui kamu yang sedang tergesa,
atau ingin kamu singgah sedikit lebih lama.
tapi lampu merah tetap tidak akan bertanya,
Bersediakah kamu singgah lebih lama?

Dan tak ada yang lebih menyedihkan daripada menjadi lampu merah di sisi kiri jalan
sesekali tersenyumlah pada mereka,
mereka di pasung disana, lalu beberapa saat kemudian pak polisi tambun memberi tanda di bawahnya
"belok kiri jalan terus"
kamu tahu rasanya?
menjadi kekasih seseorang yang terus saja mencari tulang rusuk yang lain?
kira-kira begitu...
tapi lampu merah itu tak juga mau bertanya,
kenapa dia dipilih untuk menjadi tak terlihat?

Jika kamu masih saja membenci lampu merah,
Coba buka lemari ingatanmu, cari satu ingatan tentang kekasihmu.
barangkali kamu pernah menjadi sebuah lampu merah.




Cahya Bagus Mandalukita

Thursday, May 8, 2014

Laki-laki Tanggal Tujuh


Laki-laki itu selalu ada di samping tempat tidurku!! Selalu di sana setiap tanggal tujuh, sejak empat tahun yang lalu. Laki-laki dengan jaket hitam dan garis rambut yang seperti jalan kutu, garis yang menurutku sangat mengganggu.
 
“Bangun bodoh!” 
Masih kuingat, itu yang pertama kudengar pada tanggal tujuh pertama kami. Bahkan asbak kaca yang coba kuadu dengan kepalanya saat itu masih kusimpan. Lucu, benda yang sama sekarang selalu menemani kami menghabiskan malam ke enam setiap bulan, benda yang tak pernah berhasil melukainya. Tentu saja sudah berulang kali kucoba. Hingga menyerah. Ya, dia pecandu tembakau dan aku masih belajar cara menghisap lintingan. Asbak itu menjadi kelas kami sekarang, dia gurunya, dan aku adalah murid yang setia.
***
Sekarang, setiap malam tanggal enam aku tak pernah terpejam sebelum hari berganti. Sederhana, aku suka dibangunkan dengan kecupan di pipi, dan sekali dia berkata suatu saat akan membangunkanku seperti itu, dengan cara yang kusuka. Gila, aku tak mau dicium laki-laki!
“Aku tak mau jadi kamu, kamu hobi patah hati.” Katanya suatu kali.
Kuangkat asbak itu, aku tak peduli intimidasiku ini sia-sia, aku tak suka kata-katanya. Dia juga tak peduli ancamanku. 
“Dan kamu bodoh, sudah berapa kali kau coba bikin kepalaku remuk dengan asbak itu? bukannya kamu sudah tau itu sia-sia? Ah, keledai saja tidak sepertimu.” 
Diambilnya asbak itu dari tanganku, lalu menjentikkan abu rokok ke dalamnya. Giliranku yang makin kesal, bagaimana bisa dia memegang asbak itu sedangkan aku tak pernah bisa menghantam kepalanya dengan benda yang sama, selalu tembus. Asbak itu lewat begitu saja.
Aku bertanya padanya. “kamu tidak pernah patah hati?”
“Pernah dua kali, sekali karena kucingku mengingkari janjinya. Terakhir karena ibuku menikah lagi.” Dia menghela nafas dua kali, asap putih keluar dari hidungnya. Terlihat seperti banteng yang melihat warna merah, lucu. Tapi aku tak berani tertawa. ”Kucingku mengeong sambil mengitari kakiku saat aku memintanya berjanji tak akan meninggalkanku sendirian di rumah. Dua bulan kemudian dia kabur, dan tak pernah kembali.”
“lalu kenapa kamu patah hati karena ibumu menikah?”
PLAK!! 
Kepalaku ditempeleng, keras sekali.
“Bodoh, tentu saja karena aku suaminya. Tak salah aku memanggilmu bodoh.” Jawabnya. 
Brengsek, darimana Tuhan punya ide menciptakan laki-laki kasar seperti ini.
“lalu apa kamu masih patah hati?”
“tidak.”
“bagaimana bisa?”
“mudah saja, aku tak suka kucingku meninggalkanku sendirian, jadi aku pergi dari rumah itu. Sekarang setiap tanggal tujuh aku menemanimu disini.” lanjutnya. ”Seharusnya aku sadar dari awal, kucingku itu belang tiga, hidung belang saja bajingan, apalagi belang tiga.”
“Lalu ibumu?”
“bukan urusanmu.”
Biji kuda!!! Benar-benar menjengkelkan pria yang satu ini, besok kutulis surat pada si Izrail. Biar dia mencabut nyawa laki-laki  brengsek ini.
“Terserahlah, kau kira aku peduli? Kau ini tengik, selalu datang ke sini dan membuatku kesal. Kenapa tidak berhenti saja menggangguku, hah?!” kunyalakan rokokku satu.” Lagipula, aku tidak pernah memintamu datang kemari!” kutunjuk pula ujung hidungnya dengan telunjuk kiriku, tangan yang biasa kupakai membasuh pantat.
“pantas saja gadis itu pergi, kau pemarah.”
“Anjing, tau apa kau? Kami sudah merencanakan pernikahan, perahu itu sebentar lagi akan kubuat berlayar! Tapi dia pergi dengan laki-laki lain. Dia pengkhianat! Apa alasanmu  membelanya?”
“Dia pengkhianat? Bukannya kamu juga? Kau tidak ingat gadis berambut ombak yang kau tinggalkan? Tuanku di atas sana sungguh adil..” ujung bibirnya ditarik ke atas, mencibir. Dasar laki-laki tengil.
“ya ya, aku memang pengkhianat. Berarti gadisku itu kuadrat, dulu dia yang memilihku. Juga dengan meninggalkan seseorang. lalu kenapa sekarang dia bahagia?” aku bertanya padanya, mana bisa aku terima terus disalahkan seperti itu.
“Kau yakin dia bahagia? Ya, doakan saja bahagia. Kenapa tak kau nikmati saja karmamu ini hah? Kamu ini kena  karma! Jangan merasa paling menderita, dasar lemah.”
Sejujurnya aku juga sadar, ini karma. Tapi cara laki-laki itu mengingatkanku tak seperti teman-temanku yang penuh simpati. Caranya kasar, biarpun kuakui,  dia benar.
“Baiklah, ini karma. Lalu apa gadis pengkhianat kuadrat itu tak pantas menerima hal yang sama. Kalau kau bilang Tuanmu itu adil, tunjukkan padaku, apa karma bagi gadis seperti dia?”
“Kamu.” Giliran dia yang menunjukku dengan tangan kirinya. Tapi dia memang kidal, kurasa dia membasuh pantat dengan tangan kanannya. Jadi rasanya aku tak perlu tersinggung. “Apa kamu tau kenapa diantara nama malaikat yang kamu hapalkan sejak  kecil, tak ada malaikat yang ditunjuk Tuanku untuk menentukan takdir?”
Terang saja aku menggeleng. Dia gila, jika dia tak buru-buru menjawabnya sendiri, sudah kuminta Djibril memberikanku wahyu lebih dulu.
“Dulu ada, Tuanku itu sudah merencanakannya. Tapi kemudian dia bingung sendiri, tak tahu harus memberikan hukuman apa jika malaikat itu mengarang takdir yang tak sesuai dengan keinginannya. Jadi tuanku mengubah rencana, cahaya itu tak jadi dihidupkan. Dia meletakkan ruh untuk cahaya itu pada tanah liat. Begitulah awal adanya kamu” dia melanjutkan.” Karena itu, Tuanku memberimu ijin menentukan beberapa takdirmu sendiri. Itu juga yang membuat Azazil iri.”
Aku tercengang. “kau sudah gila.”
“terserah, aku tak memaksamu percaya.”
“Sudahlah, kau gila, dan aku mengantuk, sebaiknya kamu pulang.” aku merebahkan kepalaku di atas bantal, dan dia masih saja merokok.
“aku minta kertas.” Katanya sambil merobek satu halaman belakang kumpulan cerpen yang belum sempat kubaca. Lalu dia mulai menulis. Kukira tak banyak kalimat yang dia tulis, karena sebentar kemudian dia menyelipkan kertas itu di bawah bantal milikku.
“Kutulis sebuah nama di sini. Jika kamu ingin bertemu dengannya, lanjutkan tidurmu. Jika tidak, lekas-lekas kau pindahkan dari bawah bantalmu.” Aku sudah tak peduli. Kalimat itu juga hanya kudengar samar-samar,”Aku tak mau dengar kamu memakiku tanggal tujuh bulan depan, tentang apapun yang kau bikin jadi nasib kertas ini.”
Masa bodoh, dia gila. Melantur. Kadang aku berpikir, jika aku terus menemuinya bisa jadi keyakinanku pada Tuanku sendiri bakal belur. Lagipula mana mungkin Tuan bisa bingung, Tuan Maha Benar yang bingung, rasanya aneh menyebut Tuanku begitu. Tapi separuh ceritanya tak terlihat seperti kisah yang dipelintir. Apa kenyataannya memang Tuanku sempat bingung? Persetan, aku mau tidur.
***
Demi sapi petelur!! Bagaimana bisa ucapan ngawur itu membuatku tak bisa tidur. Mungkin kertas di bawah bantal ini perkaranya. Sekiraku bukan satu nama yang sudah ditulisnya. Mungkin semacam mantra pemanggil azazil. Atau jampi-jampi Jaga sukma yang disegel dengan darah. Ya.. ya.. Bisa jadi seperti itu, bukankah tadi aku tak memperhatikannya saat menulis? 
Jari-jariku bergerak seperti ulat, menyusup ke bawah bantal. Meraba-raba kertas yang tadi terselip di sana. Hingga telapak tanganku memeluknya, lalu mulai menggesernya keluar dari bawah kepalaku. 
Sialan, sekarang aku benar-benar tak bisa tidur. Kuangkat kepalaku, lalu duduk di tepi dipan dan mulai menimang-nimang kertas itu. Awalnya kukira dia hanya melipatnya. Tapi kertas itu berbentuk sebuah perahu. Entah apa alasannya,  dia sudah pergi. Biasanya kalau sudah pergi dia benar-benar tak kembali sampai tanggal tujuh bulan depan. 
Akhirnya kubuka lipatan-lipatan kertas dari buku cerpen itu. Menebak-nebak nama siapa yang tertulis di sana. Mungkin nama ibunya, atau kucing belang tiga miliknya. Atau bisa jadi nama gadis pengkhianat kuadrat milikku. Atau malah benar-benar jampi-jampi jaga sukma. Entahlah, sudah cukup dia membuatku kesal. Tanpa berada di sini pun dia masih bisa mengerjaiku seperti ini. Benar-benar kurang ajar.
Aku menatap kertas itu cukup lama setelah tulisannya dapat kubaca. Syukurlah, bukan mantra yang tertulis di sana. Bisa jadi sebenarnya tulisan itu memang mantra, mungkin memang seperti itu caranya membuat mantra. Setidaknya jika memang benar itu mantra, rapalan itu tak menyeramkan buatku.

Nara Kailani.
Ini nama gadismu kan? Rinan, sekarang kamu tentukan sendiri takdirmu, Sampai jumpa tanggal tujuh selanjutnya.

Tentu saja aku tak bisa menentukan takdirku, dasar laki-laki idiot! Tapi aku bisa menentukan takdir tulisanmu ini. Kertas itu akhirnya kubakar. Aku hanya ingin tidur.
Ah ya, dan aku tidak ingin bertemu dengan gadis itu. kamu membaca ini kan? Hei, jangan memasang tampang bingung seperti itu, iya kamu! laki-laki tanggal tujuh, kamu membaca ini kan? Ini takdirku!

Sunday, May 4, 2014

INSOMNIA



I
Sepanjang siang kutunggu terbit bulan sabit
Bukankah itu terlihat sepertimu yang sedang tersenyum dengan
Memiringkan kepala
Atau seperti liontin kalung dari nenekmu
Pagar leher yang kamu kitarkan
Agar kamu tak lupa

II
Entah ini suara kumbang, jangkrik atau apa
Mereka terus berteriak, “pergi!pulanglah ke rumah!”
Aku masuk pada sebotol air mineral
Berguling ke selokan dan tidur
Apa lukisan yang pertama kali kulihat
pipimu yang menggembung sebal?

III
Apa bedanya  membuat mata terpejam
Dan begadang menyapa malam
Keduanya membuatku melihat gelap
Aku memilih bergurau dengan malam
Gelap yang kulihat saat pejam, seringkali
Adalah kantung mata milikmu di bawah bulan

IV
Biar kutebak alasanmu suka terjaga
Tugas bidadari memintal awan untuk kulihat
Besok siang tak bisa digantikan, kan?

V
Bintang-bintang yang tak berhenti berkedip
Satu nada dengan sesuatu yang coba
Kuingat-ingat sepanjang siang
Malam ini aku yakin, mereka menari
Seirama dengan denting pianomu
di ruang tamu

Sunday, April 27, 2014

Tiga Hari Lagi, Kirana



Dari tahun-tahun yang kemarin, masing-masing dari kita menanam


beberapa benih gelak tawa


Dari masing-masing kita yang kemarin juga, kita saling menikah


Bersama canda airmata yang cemberut dengan kening mengkerut


telingaku jelas lebih mudah mengingat banyak cerita daripada apapun

tentang kita yang masing-masingnya bermasalah dengan dunia


Kita semua yang pernah di penjara karena dosa-dosa yang berbeda


Aku, karena mudah lupa karena terlalu jatuh cinta


Sedang kamu karena tak mudah lupa setelah merasakan


 kecupan cinta yang pertama


Tentu saja kamu adalah salah satu dari kita


Telinga-telinga kita yang lain tak perlu kusebutkan


Tentu saja lagi, karena kamu lah yang sedang berulang tahun sayang


Kuucapkan selamat dengan penuh duka


Nanti tanyakan sendiri padaku alasannya


Ah ya, jangan salah sangka. Aku tau masih tiga hari lagi,


Tentu saja aku sadar bukan hari ini kamu lahir


Apa salahnya jika aku tak cukup sabar menantikan kelahiranmu


Apa menjadi salah karena aku bukan kekasihmu?


Bukankah seperti itu juga yang dirasakan ayahmu?




Cahya Bagus Mandalukita

Friday, April 25, 2014

Surat Air Laut




Kuputuskan menulis surat pendek ini dan melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas. Jika aku menjadi cukup sabar, akan lebih baik jika kularung saja surat ini kepada laut, melipatnya menjadi sebuah perahu. Entah, sebenarnya aku juga sudah lama sadar bahwa laut lebih romantis. Kubayangkan kamu akan menerima surat ini dan membuka lipatan-lipatannya seperti membuka pintu bahtera Nabi Nuh. Dari dalamnya keluar rindu dan harapan berpasang-pasangan yang membisikkan sebesar apa aku mencintaimu. Tapi kurasa tidak bisa. Sayang, aku bukan seorang yang cukup sabar. Dari tempatku berdiri sekarang menuju tempatmu berbaring telungkup saat membaca surat ini jaraknya sangat jauh, terlalu jauh. Lagipula, kurasa kertas terlalu mencintai air. Mereka tak boleh terlalu lama bercengkrama. Aku takut pada perjalanannya kertasku tak mau menuju padamu. Aku takut dia lebih memilih untuk bersatu dengan kekasihnya, air laut. Jika sudah begitu maka sepertinya aku akan lebih dari sekedar kecewa

            Jujur saja kukatakan padamu, aku tak berharap terlalu banyak tentang kesanmu saat membaca surat ini. Bahkan pada pikiranku, pesawat kertas ini akan jauh dari kondisi sempurna saat sampai di tanganmu. Bisa jadi ekornya akan terbakar oleh senjata kilat Zeus, atau sobek sedikit pada sayapnya karena angin sisa-sisa jejak Si Hermes saat lari Entah dari kejaran apa, mungkin dari Athena karena mencuri panahnya, atau dari waktu yang semakin menipis saat dia mengantarkan surat cinta Herakles untuk kekasihnya di Gunung Olimpus, Hebe. Harapanku hanya satu, semoga kata-kata di dalamnya masih bisa kamu nikmati selagi hangat.

Kamu tentu tau, setiap harapan digenggam oleh pengagum bernama kekhawatiran. Pengagum yang selalu membalur harapan dengan rapat, seperti remah roti renyah pada tempura kegemaranku. Iya, aku mengkhawatirkan kegigihan kekasih pesawat kertasku, air laut. Dia berjuang mati-matian untuk mengunjungi suratku. Kukira sudah cukup jauh aku memisahkan mereka. Tapi air laut ternyata memohon pada Matahari untuk membantu menyapa kertas terkasihnya. Aku heran darimana cinta yang seperti itu datang hingga syarat berat dari Matahari dianggukkan oleh air laut. Matahari bersedia mengangkat air laut menjadi awan untuk bertemu dengan pesawat kertasku, tapi pada pandangan mereka yang pertama, air laut akan jatuh menjadi hujan. Tak cukup, setelahnya Matahari akan menciptakan pelangi yang begitu indah, lalu setelah itu air laut akan kembali dilupakan.

Aku ingat kamu sempat begitu jatuh cinta pada perahu kertas. Sempat milikku hanya sebuah video kamu dan jari-jarimu memainkan lagu dengan judul yang sama dengan sesuatu yang sempat sangat kamu cintai tadi. Saat itu tak kutahu alasannya kenapa kamu bisa jatuh cinta. Bau air laut pada pesawat kertasku pasti membuatmu kembali mengingat perahu kertasmu. Kurasa kamu tidak perlu mengirimkan surat balasan untuk surat jelek yang kukirimkan ini. Kumohon nyanyikan saja lagu perahu kertas itu dengan iringan piano milikmu. Selain untukku, aku ingin menyampaikan penghormatanku atas pelajaran cinta dari air laut. Angin yang membawa pesawat kertasku padamu juga sudah bersedia membantuku mengantarkan lirih nada lagu itu untuk air laut. Bersediakah kamu?

Akumu

Saya membuat surat ini setelah membaca sebuah surat lama saat blogwalking. Surat itu sudah dibuat tahun 2011, surat itu bisa dibaca di sini.
 


Twitter Bird Gadget