I.
Hujan, dan Kenangan yang Datang Menumpang
Aku
ingin bertanya perihal hujan di kotamu, berapa kali mereka datang mengunjungimu dalam sebulan?
Apakah mereka datang tiba-tiba, atau terlebih dulu mengetuk halamanmu dengan
rintik gerimis? Apa hujan di tempatmu
cukup ramah untuk membiarkanmu bermain saat mereka mengunjungi rumput kebunmu?
Masihkah kamu menyukai bermain di bawah hujan?
Aku
sendiri tak pernah memahami hujan, apa alasan mereka mengunjungiku, juga perasaan
mereka padaku. Jika kamu bertanya padaku, aku sangat mencintai hujan. Bukan
pelangi yang membuatku bahagia. Aku suka melihat rumput-rumput tersenyum
memandang pelangi saat senja, seolah mengucapkan selamat tinggal pada orang
terkasihnya yang baru saja berlalu, aku juga menggilai bunga mawar dengan bulir
air pada kelopaknya, aku jatuh cinta pada suara burung di hutan belakang saat pagi setelah hujan semalaman, meskipun aku
tak mengetahui alasan kicau mereka, entah mereka
memaki hujan yang merusak percintaan mereka pada
malam sebelumnya, atau berterima kasih padanya karena menyejukkan
pagi.
Apakah
kalian memahami mekanisme hujan? Aku tidak. Bukan, bukan siklus terjadinya hujan, untuk yang
satu itu aku paham di luar kepala,
siklus itu sudah kupelajari bahkan saat aku di sekolah dasar. Maksudku
mekanisme kerja mereka, bagaimana mereka
menyimpan semua rekaman kenangan, bagaimana mereka mengantarkannya pada kepalamu, dan menyingkronkan dengan
hatimu, lalu membuatmu tersenyum, menitikkan
air mata, atau termenung karenanya.
Merusak sisa hari pertamamu bulan ini
yang telah bahagia melihat rekening gaji yang sudah bertambah.
Ambil
selembar kertas, darimanapun asalnya, buku catatan, bill restoran, novel yang
sudah selesai kamu baca, apapun, aku tak
mempermasalahkan sumbernya, dan sebatang pensil, atau pulpen. Mulailah menulis semua hal
yang melintas di otakmu saat memandang bulir-bulir air yang
dijatuhkan Tuhan dari langit. Tidak perlu
kamu sampaikan padaku hasilnya,
simpan saja sendiri untukmu. Aku tak memerlukan hal-hal terkait kenanganmu, jika disana tercantum nama ibumu,
segeralah menghubungi beliau, selagi sempat. Aku sendiri menyimpan
daftar itu pada dompetku, sekedar mengingatkanku pada semua hal yang berharga (atau bisa jadi hanya sebentar
singgah) di sampingku.
Semua
kenangan yang direkam olehnya, oleh hujan, sebagian besar mengenai perihal kehilangan. Entah kenapa hujan
menjadi perantara paling melankolis bagi (mungkin) kita, sejujurnya aku menyukai hujan, tapi tidak dengan kenangan
yang datang menumpang padanya. Saat bulir hujan yang kucintai itu menghilang, mereka hanya menyisakan hal
bernama kenangan. Menyebalkan bukan? Aku masih mencari cara menikmati hujan tanpa kenangan.
Bagaimana denganmu? Beritahukan padaku jika kamu sudah menemukan caranya, bersediakah?
II.
Ulat dan Sepohon Daun Jeruk Nipis
Bolehkah
aku mengetahui pikiranmu tentang seekor ulat? Ah tidak, ulat bukan hewan
melata,dia lebih terlihat seperti merangkak perlahan buatku. Apa kamu jijik
melihatnya? Aku cukup mahfum, hampir semua hewan invertebrata memiliki tubuh yang bisa jadi membuatmu merinding.
Walaupun tidak buatku, aku tidak jijik memandang ulat. Lagipula jarang aku menyempatkan
untuk menyisihkan waktuku memandang ulat. Bagiku dia hanya seorang anak kecil yang sedang menjalani kehidupannya sebelum
dewasa. Apakah ada seseorang yang jijik padaku saat aku balita? Rasanya tidak,
karenanya aku merasa tidak adil jika harus menghakimi tubuh kecil ulat yang tak
mengetahui apapun tentang pikiranku, tentangnya.
Ulat
kupu-kupu yang aku tak tahu apa namanya, jika kamu mau sedikit mencoba mengerti
tentang kehidupannya, mengajarkanmu banyak hal tentang kesabaran dan ketabahan
hidup. Menurutku kisah hidupmu tak ada sebiji padi daripada kehidupan seekor
ulat. Apakah kamu ditinggalkan ibumu
sebelum kamu sempat bertanya pada beliau
bagaimana cara berjalan? Atau mencari makan? Atau cara merajut kepompong
keras itu?
Ya
begitulah kehidupan seekor ulat, seekor kupu-kupu betina (mungkin mereka
memanggilnya ibu) meninggalkan beberapa puluh telur di balik sepotong daun, pada sepohon daun jeruk
nipis beberapa hari yang lalu. Berharap dunia akan menjaga dan membantunya bertahan
menjadi seekor kupu-kupu yang melanjutkan kehidupannya. Aku
memperkirakan beberapa puluh telur ulat itu adalah jumlah yang cukup untuk
membuat sepohon daun jeruk nipis ini menjadi sepohon jeruk nipis berdaun
ulat. Entah kenapa hanya satu ulat jeruk nipis ini yang terlihat di sini. Banyak
kemungkinan yang terlintas di benakku, bisa jadi dia ulat yang pertama kali
keluar dari telur kecilnya yang menjadi
terlalu sempit setelah dia tumbuh dan
berkaki, lalu memakan
ssaudara-saudaranya yang belum
cukup umur untuk melihat dunia, atau dia hanya
si bungsu yang
lahir belakangan, sementara
saudaranya yang lahir lebih dulu
meregang nyawa pada paruh nuri kelaparan, jika cerita terakhir benar, maka takdirlah yang
membantunya melanjutkan hidup.
Tak butuh waktu lama baginya untuk belajar merangkak dan mulai mengunyah.
Rasanya tak sekalipun dengan tedeng
aling-aling ulat kecil ini memohon ijin pada pohon jeruk nipis
itu untuk menghabiskan daunnya, mana paham dia tentang perih yang
dirasakan si pohon saat bagian tubuhnya robek oleh gigi-gigi kecil itu.
Alih-alih menggelitik, gigi-gigi itu lebih menimbulkan perih kurasa. Tak salah
juga sebenarnya, apa yang kamu harap
diketahui ulat kecil yang ditinggalkan ibunya sebelum menetas mengenai sopan
santun, tak seulatpun yang mengajarkan hal itu padanya. Tak paham juga aku darimana dia mengerti cara
menggunakan kaki-kaki kecilnya, juga
cara mengunyah. Entah apa dia punya tenggat waktu untuk menjadi kepompong, yang aku tahu ulat kecil
itu tak juga berhenti mengunyah.
Jika
ulat itu mengetahui perihal ketabahan,
maka pohon jeruk nipis punya satu perihal luar biasa
lainnya. Kamu perlu belajar
darinya mengenai keikhlasan. Tak sekalipun pohon itu mencoba
menancapkan duri saat ulat menggerogoti daunnya. Padahal dengan ukuran
durinya, ulat sekecil itu pasti mati seketika. Tapi dia membiarkan anak kecil
itu menggerogoti bagian tubuhnya, menggantikan ibu kupu-kupu menyuapinya hingga
anak kecil itu cukup kuat merajut kepompongnya sendiri. Mungkin sembari
berharap anak kecil itu tak cukup tega memakan daun muda miliknya. Menumbuhkan tunas daun tak semudah yang kamu
kira, seperti membesarkan anak kukira. Bisa jadi daun itu menjadi cukup bagus
untuk berfotosintesis, atau tanggal jika tak cukup kuat menahan terpaan angin.
Apa kamu berpikir kehilangan tunas itu bukan masalah besar? Pikirkan lagi, kamu
kira darimana asal kambium besar pohon beringin di depan keraton jogjakarta?
Ya, dari setunas kecil daun yang dibesarkan dengan susah payah, apa kamu masih
berpikir itu bukan masalah besar?
Genap
seminggu sudah ulat kecil itu menjadi parasit pada dahan-dahan pohon jeruk nipis. Gerakannya melambat, sepertinya kulitnya
sudah terlalu sempit untuk tubuhnya yang menggembung karena tak
berhenti mengunyah. Sekarang kalian mengakuinya kan? ulat bukan reptil melata yang bisa berganti kulit saat
tubuhnya membesar. Mungkin itu juga yang menjadi alasan sebenarnya seekor ulat merajut kepompong, setidaknya dengan begitu mereka berpuasa makan. Tubuh yang berat bukan gegaman yang bagus untuk melanjutkan
perjalanan. Bukan menginginkan dirinya menjadi kupu-kupu, bagaimana mungkin kamu menginginkan menjadi
sesuatu yang meninggalkanmu dalam bentuk telur? Aku makin membenci kupu-kupu. Selain
perihal meninggalkan para telur itu, sepertinya mereka menjadi teladan bagi
para wanita. Meletakkan pemikiran brilian bahwa untuk menjadi cantik kamu harus
berhenti makan. Lihat saja ulat buruk
rupa yang berhenti makan, sesaat mereka akan tersiksa menjadi kepompong
yang tak bisa melakukan apapun, tapi setelahnya mereka menjadi kupu-kupu
cantik dengan sayap yang mengagumkan. Jika benar mereka yang
membuat para gadis berpikiran untuk menyiksa diri dengan “sumpahtakmakan”
mereka, sepertinya aku benar-benar akan membumihanguskan kupu-kupu di seluruh
dunia. Tak pernah tega aku melihat para
wanita berdiet, Terlalu menyiksa bagi mataku.
Benar
saja, tak sampai sehari ulat itu sudah menjadi
kepompong berwarna hijau muda. Tersamar dengan sangat cantik diantara daun-daun
segar jeruk nipis belia. Kamu pernah mendengar tapa Arjuna saat mencari pusaka
panahnya? Kepompong mirip seperti itu,
mereka bersemedi, tapa tanpa makan dan minum, hanya saja tanpa
menggemparkan istana betara guru. Menurutku
mereka lebih hebat dari Arjuna, tanpa perlu membuat para dewata itu cemas kelimpungan setengah mati, mereka mendapatkan sebuah pusaka.
Sepasang sayap cantik yang entah sebuah anugerah atau kutukan bagi mereka. Bagaimana
tidak, sayap-sayap itu yang membuat mereka begitu mengagumkan, dan
sayap-sayap itu pula yang membuat
beberapa dari mereka harus
bergelut dengan formalin dan menjadi cindera mata pada sebuah bingkai keemasan.
Tiga
hari setelahnya, kepompong itu bergerak, seperti baru membuka mata dari tidur panjang. Aku rasa, dari caranya bergerak dia tidak menguap, otak kepompong
tak membutuhkan oksigen saat bosan, atau mungkin karena dia tak
memiliki mulut, juga hidung. Aku
jadi berpikir bagaimana cara dia bernafas, rasanya kulit kepompong itu terlalu keras untuk rembesan udara. Ah sudahlah, mungkin
kepompong tak perlu bernafas untuk hidup, toh
kenyataannya dia tetap hidup.
Ada
sesosok aneh yang beringsut keluar dari
dalam kepompong hijau muda, mirip kakek tua
keriput, kisut. Entah sejak kapan dia berada di dalam sana, juga bagaimana cara dia
keluar dari penjara hijau muda keras
itu. Kuperhatikan dia tak bergigi, juga tak
bertanduk. Sesaat dia terdiam di sana,
berjemur pada matahari pagi. Sayapnya seperti kerupuk, membutuhkan panas
untuk mengembang. Hanya saja dia
menggunakan terik matahari dan hembusan
angin, bukan minyak kelapa. Tak
lama, dia pergi tanpa mengucapkan sepatah selamat tinggal pada jeruk nipis, dan meninggalkan sepotong
kenangan pada bekas kepompong hijau muda. Sekarang aku tak bisa memutuskan pada siapa aku harus lebih mengiba, pada seekor ulat yang sudah sempurna menjadi kupu-kupu, menjadi perihal yang pernah
meninggalkannya dan melakukan hal
yang sama, meninggalkan sepatah
dahan jeruk nipis, atau pada jeruk nipis
muda, yang ditinggalkan sebatang kara.
III. Airmata dan Pipi Gadis Pengamen Kecil
Aku
melihat sepasang sayap malaikat kecil, duduk sambil memegang uang recehan. Lingkaran logam yang tak cukup
untuk menjadi segerombolan dan menggemerincing.
Tangannya kehilangan tongkat
kebahagiaan, mungkin seorang raksasa menukarnya dengan batang kayu kecil yang
berisik saat lempeng pipih ujungnya
bercumbu.
Matanya
abu-abu, tak sedalam lautan, tak juga
segelap dasar palung laut. Matamu dengan mudah bisa melihat apa isi di dalamnya, kosong. Sama
kosongnya dengan lambung yang tak terisi
makanan apapun sejak siang tadi, pada
tubuh yang sama. Mata-mata yang lain memandangnya berbelas kasihan penuh kesombongan.
Kebanyakan manusia seperti itu, merasa
dirinya lebih baik daripada yang lainnya. Sedang nurani sendiri lebih
memilih untuk memeluknya.
Matamu
langit mendung, kelabu. Mendung seperti
karung beras kelebihan beban, tapi matamu
tak pernah berhujan deras, menggerimis
pada sebuah pipi yang terlihat seperti kawah tanah, cekung dan coklat.
Air mata sedikit meredakan perih yang dirasakan hati, padahal dia mengering
pada sebuah pipi. Mungkin pipi adalah
pintu masuk hati, sekarang aku tahu kenapa
ibuku suka mengecup pipiku. Sekedar menyejukkan hati. Paragraf ini aneh,
terlalu banyak kata hati. Bukti
bahwa jariku tak begitu pandai menyusun kata-kata.
Kukutip
dari seorang teman, “hidup tak selalu
monokrom”. Maaf kawan jika ada yang
salah dari yang kuucapkan. Tapi kamu sepertinya
harus datang kesini dan melihat ini,
apakah abu-abu adalah monokrom yang kamu
maksud, atau sesuatu yang lain?
Sepotong
malaikat yang sudah tertidur, dengan
pipi coklat tanah yang sudah berkerak, ditinggalkan air mata.
IV.
Kakek dan Pensil Kayu
Aku
tak bisa menulis tentang ini, cinta puluhan tahun hanya bisa kamu rasakan saat mengalaminya, bukan
membacanya. Hanya saja mereka saling kehilangan saat pensil kayu itu
habis. Melukis segores rambut gadis yang
menikah dengannya 50 tahun yang lalu. Itu saja.
V.
Remaja dan Kawan Lama
Kalian
pernah saling jatuh cinta saat sekolah,
atau menyerahkan diri pada satu ketulusan. Barangkali suatu saat menjadi hutan
dengan hanya dua pohon merah yang tak lagi saling menyapa, diam dan kaku. Tapi bukankah kalian tak peduli akan masa depan?
Genggaman kalian adalah masa depan bagi kalian, dan tak ada seorangpun yang
memprotesnya.
Gadis
itu selalu berada pada sebuah
pilihan, tetap merasa tersakiti atau
mati. Hei nona, tahukah kamu bahwa pria disampingmu juga memutuskan menancapkanmu pada dadanya?
Pilihannya sama, membawamu bagaimanapun tertatihnya, atau mencabutnya dan lebih
dari terluka. Tapi bukankah kalian tak pernah peduli rasa sakit? Kalian saling
menghujam dan tetap mencoba bahagia.
Selamat
siang pagi. Seperti sengaja kamu datang terlambat hari ini. Memberi waktu lebih
lama bagi mereka untuk beristirahat? Ah ya, telinga mereka butuh tidur, setelah
semalaman menguping percakapan dua manusia jatuh hati. Tapi bukankah kalian tak
peduli orang lain? Guru kalian hanya lalat kerbau yang mengganggu jika kalian tertidur di
kelas.
Mulut
kalian menjadi terlalu tajam dan jantung kalian tak mengijinkan belati itu
menancap lagi, jadi kalian sekarang tak lagi ingin mati? Sekarang kalian mulai
peduli?
Pada
satu perjalanan kamu meninggalkan sepasang hati kecil pada panti asuhan. Kaki kalian berjalan
menjauh. Mereka menjadi sepasang anak kecil yang ditinggalkan pada pasar malam,
kecil dan tak tahu harus kemana,
sekarang kalian mulai peduli?
Ya,
lupakan saja. Kalian juga sudah tak ingin saling mengingat. Sudah tak ingat
lagi menjadi tak peduli?
Sekarang
mulailah mengingat, berapa banyak dunia ini kehilangan?
Cahya
Bagus Mandalukita