Aku sedang suka merapi-rapikan isi ruangan blog ini. Aku membaca semua tulisanku yang dulu. Dan aku sadar, hanya anak muda yang waktu itu saja yang mengerti, lelaki tua yang sekarang ini tak lagi mengerti apa yang sempat diucapkannya beberapa tahun ke belakang. Aku sendiri tak pernah tahu apa mata-mata lain yang membaca ruangan ini bisa ikut mengerti. Tapi setidaknya dengan kurapikan, aku lebih suka berlama-lama di ruangan kosong ini. ini Beberapa tulisan yang saya rapihkan.
1. #CANDURINDU
Kamar ini sepi dan dingin, hanya ada laba-laba pada sudut meja menenun
jala, dan cicak yang sedari tadi hanya mematung, mungkin bersedih
kehilangan cinta.
Nyatanya cicak itu bukan sedang patah hati, dia hanya menunggu merenggut sebuah nyawa, jala itu
tak lagi berguna. Tak ada lagi denyut disana, memang perihal makan memakan ini tak berdosa. Laba-laba itu tersisa
kenangan, pun seekor nyamuk singgah sia-sia. Mati perlahan dalam kesepian. Reptil kecil itu
bak buaya, berjalan pelan, kembali pada peraduan di balik kaca, kamar ini kembali sepi.
Kaca di depanku retak sedikit, tapi cukup jelas terbesit memantulkan
kisah,dimana ada kamu, dalam kepalaku meringkuk malu. Aku masuk ke sana, menemuimu. Kupilih
kartu nasibku, dan terjebak disana bersamamu.
Di luar hujan, berbisik berisik. Mereka ahlinya, meramu bumbu
pada rindu, mengelitik air mata, menciptakan pelukan pertemuan. Dan kini aku
benci, mereka terus merintik turun berpasangan, menertawai aku yang sendiri. Tak
adil, andai ada kamu, kuajak kamu keluar, melawan hujan.
Sepertinya nyali mereka mulai ciut saat namamu kusebut. Hujan habis
tiga-dua-satu, langit sebentar lagi biru, hujan malu bisu. Dengki pada pelangi, yang
datang dan mereka tidak diingat lagi. Angkasa dan pelangi senja, sama indah. Hanya saja bianglala
lebih berwarna. Tapi mereka aneh. Keduanya cemburu pada matamu.
Aku bersandar, melihat sebuah gambar bergerak. Tertegun kunikmati
jemarimu yang sedang menari pada tuts hitam putih. Berdansa, mereka tak bersuara, hanya nada menyampaikan
rasa. Baru kusadari, jemarimu lentik, cantik.
Kugadaikan diamku, hanya demi mengatakan kau cantik. Ingat-ingat ini, kututurkan
sekali, selebihnya akan kubisikkan, dengan bahasa yang hanya bisa dinikmati oleh
mulut dan telinga kita. Kamu cantik.
Senja yang
indah, matahari memerah lelah. Kamu bernyanyi, terdengar dari sini. Angin yang membawanya
begitu lirih. Lidah buaya berbunga, merunduk turun. Mengikuti angin yang sama
mengalun.
Kamu, bukan anugerah. Kamu bencana, menyiksa dengan indah. Dicinta
dalam pejam, disayang dalam diam. Sebuah pengecualian, yang sempat diciptakan.
17 February 2013
Cahya Bagus Mandalukita
2. DOH!!!
Kerajaan kecil ini busuk, berisi menteri-menteri mabuk. Memikirkan
raja dalihnya, tapi para prajurit terus dicambuk. Kalian lihat saja pada saatnya mereka
mengamuk dan kalian para sapi gemuk,akan terbantai remuk.
Mereka memegang pena ajaib, menentukan nasib. Gaib, mereka
membuat jiwa para prajurit kelas satu ini menciut, menjadi anjing-anjing
penjilat remah roti,
”Hari ini kau pergi, besok kau mati!!” kata mereka tertawa,
melempar bola tenis penuh liur, dan para anjing ini berlari mengejar
secepatnya, itu saja kerja mereka.
Aneh, para koki diberi baju baja. Lucu, perut buncit mereka
kemana-mana. Dan para jenderal tak lagi bersenjata, mereka di beri gitar, dan
mulai bernyanyi mengganggu telinga. Tentu saja buruk, dan mereka dibuang
setelahnya. Satu-satu.
Ada sekelompok anak muda, mereka mendaftar menjadi prajurit
kerajaan. Mereka diterima, lalu ditanya, "suruh siapa masuk kemari!!" kata para mayor
tertawa. Beberapa tahun lagi mungkin anak muda ini melakukan hal yang sama, meludah
dan mencaci para muda, Duh!
Agaknya kerajaan kecil ini dibuat ketika
bercanda. Lawak, berlomba berlagak, berkata mereka yang paling berjasa, sudah
banyak bekerja, dan melempar senjata pada sekelilingnya. Pada akhirnya, mereka
tidak menghasilkan apa-apa.
Beberapa pembesar memeluk tahta, merahasiakan bagaimana mereka
bekerja, tentu saja agar tetap duduk disana. Beberapa sibuk mengurut tangan robot mereka
yang mulai menua karena bekerja menggila. Memohon tidak dilepar pada ujung pos jaga.
Ada bagusnya, beberapa kunang-kunang hinggap disana. Semoga
mereka segera menjadi bintang, kerajaan ini butuh terang!
Cahya Bagus Mandalukita
3. #Kerandamerah
Aku berdiri di pinggir jalan, sejak
tadi. Asap mengambang, mengalungi senja
seluruh kota. Sepertinya banyak kuda sedang bersantai. Berjalan berjingkat, setengah-setengah
langkah sambil menikmati cerutu yang tak berhenti membuatku batuk, mereka
berjingkat pelan-pelan, juga menghisap cerutu dengan pelan-pelan. Membuat
mereka seperti sedang mengantre rumput dengan sangat santai. Aku kesal, jika
aku sakit paru-paru, tak mungkin aku menyebut mereka dungu. Biasanya, orang-orang
yang kukenal menyebut kata dungu berpasangan dengan keledai, bukan kuda. Jadi
aku hanya diam, menutup mulut dengan jaketku yang sudah lusuh.
Sebuah keranda merah besar
melintas, keranda yang beroda dan tak ditandu oleh manusia.
Entah kenapa warnanya merah. Yang pasti keranda
itu mengangkut para prajurit yang sekarat. Mereka, semua prajurit itu
terlihat sudah sangat lelah, menumpang pada kotak beroda ini untuk mencari arah
pulang ke rumah. Mana mungkin mereka
masih dipaksa berperang. Panglima bisa marah besar, prajurit lelah seperti
mereka hanya membuatnya kalah perang. Kulihat lengan mereka penuh luka, dengan
wajah yang tak segagah ketika mereka pamit berangkat pada keluarga dengan
bangga. Mereka seperti menanti kematian, umurnya akan habis pada langkahnya
saat pulang. Aku naik ke atasnya, berlagak menjadi prajurit bernasib sama.
Prajurit-prajurit itu membuat
keranda ini seperti penuh dengan mayat hidup. Mata mereka kosong,
sepertinya mereka rindu menimang bayinya
yang baru lahir kemarin. Tapi ceritanya selalu sama, mereka tak pernah tega membangunkan
seorang bayi yang sudah tertidur saat
mereka tiba. Lalu hanya melihat seorang malaikat kecil tertidur. Malaikat yang
sudah lama tak merasakan debar jantung ayahnya.
Roda keranda merah ini berputar,
tentu saja perlahan. Kuda-kuda tadi masih saja bersantai. Tak juga mengalah
pada prajurit-prajurit yang sudah lelah. Sepertinya keranda merah ini menghisap
kehidupan, di dalam sini aku mengantuk. Hanya saja aku takut tidur, aku tak tahu apa yang akan
terjadi jika tidur, bisa jadi aku makin jauh dengan rumah, atau malah tak akan kembali.
Kepulangan di kota ini dibayar
mahal, uang tak punya arti di sini. Alat
tukar yang mengerikan kurasa. Mereka di kota ini menukarkan ruh, menjual hidup
untuk tetap hidup.
Seorang anak kecil mulai
berkeliling, menarik upah. Anak kecil
berbaju abu-abu. Rambutnya merah,
mungkin berdarah setelah kalah berkelahi dengan matahari. Tubuhnya kurus
ceking, sesuatu yang tak pernah membuat dia peduli. Anak itu berjalan menyusuri
lorong keranda, menarik ongkos pulang para prajurit yang sudah penuh luka. Dia
membawa gentong kecil, dengan lubang yang menganga, ”untuk menghisap ruh,”
katanya. Perjalanan pulang ini tak berongkos mahal, hanya dua jam kehidupan.
Bukan, tolong jangan menyebutnya kejam.
Dia jauh dari kata kejam, memang begitulah cara hidup di sini. Dari caranya
menarik mahar, kurasa dia cukup ramah. Sesimpul senyum selalu melekat pada
pipinya yang coklat. Setidaknya aku
merasakannya, dia jauh lebih hangat daripada muka-muka datar para mayat hidup yang menumpang pada kerandanya. Anak
kecil itu bergelantungan pada tepi keranda, sejenak menghirup udara segar, mata
kosong mayat-mayat hidup itu menyesakkan, jauh lebih menghimpit paru-paru
daripada cerutu-cerutu kuda. Tangannya membuka gentong ruh yang sedari tadi ia
gendong. Tangannya lincah menghitung ruh yang berhasil dia kumpulkan. Pas, tak
ada yang berhutang.
Aku sejak tadi mengambil tempat di
sisi paling belakang keranda. Rasanya tak penting juga mencari tempat di tengah
para prajurit ini. Mereka hanya bisa diam, juga tak akan mempedulikanku.
Kehilangan ruh membuat mereka mati, hanya panglima besar yang menyihir mereka agar
tetap dapat berjalan. Awalnya kukira mereka seperti mayat hidup, sekarang
kusimpulkan semua pikiranku adalah nyata, mereka benar-benar sudah mati.
Anak kecil bergentong tadi
berjongkok di depanku, memberi punggungnya sebagai teman mataku menunggu sampai
pada tujuanku, rumah. Menatapnya dari belakang membuatku bertanya, apa anak
seperti ini masih menggilai buku? Semoga dia masih melahap buku dengan rakus.
Lalu aku menyadari arti perkataanku. Ternyata tak
semua hal yang biasanya dianggap buruk akan selalu berarti busuk. Rakus dan tamak tak selalu buruk ternyata,
jika dia (anak kecil itu) mampu menghabiskan semua buku di kota ini, akan ada
waktunya dia akan menjadi pria yang membagikan seluruh buku yang dia makan pada
dunia. Setitik harapan untuk kota mati seperti ini bukan?
Kota mati ini aneh Tuhan, susunan
batu-batu yang dibuat manusia ini mampu menghidupkan rasa (milikku) dan
mematikannya pada saat yang sama. Seorang bocah paruh baya dengan otak buntung
baru saja masuk ke dalam keranda dan meminta-minta. Memaksa setiap mayat ini
memberikan sisa ruh padanya. Sedang di luar sana, mataku tertarik pada seorang
nenek remaja yang menarik gerobak sampah, setengah mati.
Kota ini menangis Tuhan,
kukira akan sama seperti biasanya,
sesaat akan tenggelam. Meminta tolong pada kalian dengan mulutnya yang dijahit
kawat. Terus memaksa bersuara, dan terluka. Tak ada yang bersedia mendengar,
masing-masing terus sibuk menjual jiwa. Tegakah Kau membiarkan ini begini?
Jakarta, pada sebuah perjalanan
pulang, hujan merintik setengah jalan. Beberapa orang menyebutnya metromini,
aku menyebutnya keranda merah.
Cahya Bagus Mandalukita