Sunday, April 27, 2014

Tiga Hari Lagi, Kirana



Dari tahun-tahun yang kemarin, masing-masing dari kita menanam


beberapa benih gelak tawa


Dari masing-masing kita yang kemarin juga, kita saling menikah


Bersama canda airmata yang cemberut dengan kening mengkerut


telingaku jelas lebih mudah mengingat banyak cerita daripada apapun

tentang kita yang masing-masingnya bermasalah dengan dunia


Kita semua yang pernah di penjara karena dosa-dosa yang berbeda


Aku, karena mudah lupa karena terlalu jatuh cinta


Sedang kamu karena tak mudah lupa setelah merasakan


 kecupan cinta yang pertama


Tentu saja kamu adalah salah satu dari kita


Telinga-telinga kita yang lain tak perlu kusebutkan


Tentu saja lagi, karena kamu lah yang sedang berulang tahun sayang


Kuucapkan selamat dengan penuh duka


Nanti tanyakan sendiri padaku alasannya


Ah ya, jangan salah sangka. Aku tau masih tiga hari lagi,


Tentu saja aku sadar bukan hari ini kamu lahir


Apa salahnya jika aku tak cukup sabar menantikan kelahiranmu


Apa menjadi salah karena aku bukan kekasihmu?


Bukankah seperti itu juga yang dirasakan ayahmu?




Cahya Bagus Mandalukita

Friday, April 25, 2014

Surat Air Laut




Kuputuskan menulis surat pendek ini dan melipatnya menjadi sebuah pesawat kertas. Jika aku menjadi cukup sabar, akan lebih baik jika kularung saja surat ini kepada laut, melipatnya menjadi sebuah perahu. Entah, sebenarnya aku juga sudah lama sadar bahwa laut lebih romantis. Kubayangkan kamu akan menerima surat ini dan membuka lipatan-lipatannya seperti membuka pintu bahtera Nabi Nuh. Dari dalamnya keluar rindu dan harapan berpasang-pasangan yang membisikkan sebesar apa aku mencintaimu. Tapi kurasa tidak bisa. Sayang, aku bukan seorang yang cukup sabar. Dari tempatku berdiri sekarang menuju tempatmu berbaring telungkup saat membaca surat ini jaraknya sangat jauh, terlalu jauh. Lagipula, kurasa kertas terlalu mencintai air. Mereka tak boleh terlalu lama bercengkrama. Aku takut pada perjalanannya kertasku tak mau menuju padamu. Aku takut dia lebih memilih untuk bersatu dengan kekasihnya, air laut. Jika sudah begitu maka sepertinya aku akan lebih dari sekedar kecewa

            Jujur saja kukatakan padamu, aku tak berharap terlalu banyak tentang kesanmu saat membaca surat ini. Bahkan pada pikiranku, pesawat kertas ini akan jauh dari kondisi sempurna saat sampai di tanganmu. Bisa jadi ekornya akan terbakar oleh senjata kilat Zeus, atau sobek sedikit pada sayapnya karena angin sisa-sisa jejak Si Hermes saat lari Entah dari kejaran apa, mungkin dari Athena karena mencuri panahnya, atau dari waktu yang semakin menipis saat dia mengantarkan surat cinta Herakles untuk kekasihnya di Gunung Olimpus, Hebe. Harapanku hanya satu, semoga kata-kata di dalamnya masih bisa kamu nikmati selagi hangat.

Kamu tentu tau, setiap harapan digenggam oleh pengagum bernama kekhawatiran. Pengagum yang selalu membalur harapan dengan rapat, seperti remah roti renyah pada tempura kegemaranku. Iya, aku mengkhawatirkan kegigihan kekasih pesawat kertasku, air laut. Dia berjuang mati-matian untuk mengunjungi suratku. Kukira sudah cukup jauh aku memisahkan mereka. Tapi air laut ternyata memohon pada Matahari untuk membantu menyapa kertas terkasihnya. Aku heran darimana cinta yang seperti itu datang hingga syarat berat dari Matahari dianggukkan oleh air laut. Matahari bersedia mengangkat air laut menjadi awan untuk bertemu dengan pesawat kertasku, tapi pada pandangan mereka yang pertama, air laut akan jatuh menjadi hujan. Tak cukup, setelahnya Matahari akan menciptakan pelangi yang begitu indah, lalu setelah itu air laut akan kembali dilupakan.

Aku ingat kamu sempat begitu jatuh cinta pada perahu kertas. Sempat milikku hanya sebuah video kamu dan jari-jarimu memainkan lagu dengan judul yang sama dengan sesuatu yang sempat sangat kamu cintai tadi. Saat itu tak kutahu alasannya kenapa kamu bisa jatuh cinta. Bau air laut pada pesawat kertasku pasti membuatmu kembali mengingat perahu kertasmu. Kurasa kamu tidak perlu mengirimkan surat balasan untuk surat jelek yang kukirimkan ini. Kumohon nyanyikan saja lagu perahu kertas itu dengan iringan piano milikmu. Selain untukku, aku ingin menyampaikan penghormatanku atas pelajaran cinta dari air laut. Angin yang membawa pesawat kertasku padamu juga sudah bersedia membantuku mengantarkan lirih nada lagu itu untuk air laut. Bersediakah kamu?

Akumu

Saya membuat surat ini setelah membaca sebuah surat lama saat blogwalking. Surat itu sudah dibuat tahun 2011, surat itu bisa dibaca di sini.
 


Wednesday, April 23, 2014

Aku sedang Suka Melakukan Ini

Aku sedang suka merapi-rapikan isi ruangan blog ini. Aku membaca semua tulisanku yang dulu. Dan aku sadar, hanya anak muda yang waktu itu saja yang mengerti, lelaki tua yang sekarang ini tak lagi mengerti apa yang sempat diucapkannya beberapa tahun ke belakang. Aku sendiri tak pernah tahu apa mata-mata lain yang membaca ruangan ini bisa ikut mengerti. Tapi setidaknya dengan kurapikan, aku lebih suka berlama-lama di ruangan kosong ini.  ini Beberapa tulisan yang saya rapihkan.



1. #CANDURINDU 


Kamar ini sepi dan dingin, hanya ada laba-laba pada sudut meja menenun jala, dan cicak yang sedari tadi hanya mematung, mungkin bersedih kehilangan cinta.

Nyatanya cicak itu bukan sedang patah hati, dia hanya menunggu merenggut sebuah nyawa, jala itu tak lagi berguna. Tak ada lagi denyut disana, memang perihal makan memakan ini tak berdosa. Laba-laba itu tersisa kenangan, pun seekor nyamuk singgah sia-sia. Mati perlahan dalam kesepian. Reptil kecil itu bak buaya, berjalan pelan, kembali pada peraduan di balik kaca, kamar ini kembali sepi.

Kaca di depanku retak sedikit, tapi cukup jelas terbesit  memantulkan kisah,dimana ada kamu, dalam kepalaku meringkuk malu. Aku masuk ke sana, menemuimu. Kupilih kartu nasibku, dan terjebak disana bersamamu.

Di luar hujan, berbisik berisik. Mereka ahlinya, meramu bumbu pada rindu, mengelitik air mata, menciptakan pelukan pertemuan. Dan kini aku benci, mereka terus merintik turun berpasangan, menertawai aku yang sendiri. Tak adil, andai ada kamu, kuajak kamu keluar, melawan hujan.

Sepertinya nyali mereka mulai ciut saat namamu kusebut. Hujan habis tiga-dua-satu, langit sebentar lagi biru, hujan malu bisu. Dengki pada pelangi, yang datang dan mereka tidak diingat lagi. Angkasa dan pelangi senja, sama indah. Hanya saja bianglala lebih berwarna. Tapi mereka aneh. Keduanya cemburu pada matamu.

Aku bersandar, melihat sebuah gambar bergerak. Tertegun kunikmati jemarimu yang sedang menari pada tuts hitam putih. Berdansa, mereka tak bersuara, hanya nada menyampaikan rasa. Baru kusadari, jemarimu lentik, cantik.

Kugadaikan diamku, hanya demi mengatakan kau cantik. Ingat-ingat ini, kututurkan sekali, selebihnya akan kubisikkan, dengan bahasa yang hanya bisa dinikmati oleh mulut dan telinga kita. Kamu cantik.

Senja yang indah, matahari memerah lelah. Kamu bernyanyi, terdengar dari sini. Angin yang membawanya begitu lirih. Lidah buaya berbunga, merunduk turun. Mengikuti angin yang sama mengalun.

Kamu, bukan anugerah. Kamu bencana, menyiksa dengan indah. Dicinta dalam pejam, disayang dalam diam. Sebuah pengecualian, yang sempat diciptakan.

17 February 2013



Cahya Bagus Mandalukita


2. DOH!!!


Kerajaan kecil ini busuk, berisi menteri-menteri mabuk. Memikirkan raja dalihnya, tapi para prajurit terus dicambuk. Kalian lihat saja pada saatnya mereka mengamuk dan kalian para sapi gemuk,akan terbantai remuk.

Mereka memegang pena ajaib, menentukan nasib. Gaib, mereka membuat jiwa para prajurit kelas satu ini menciut, menjadi anjing-anjing penjilat remah roti, 
”Hari ini kau pergi, besok kau mati!!” kata mereka tertawa, melempar bola tenis penuh liur, dan para anjing ini berlari mengejar secepatnya, itu saja kerja mereka.

Aneh, para koki diberi baju baja. Lucu, perut buncit mereka kemana-mana. Dan para jenderal tak lagi bersenjata, mereka di beri gitar, dan mulai bernyanyi mengganggu telinga. Tentu saja buruk, dan mereka dibuang setelahnya. Satu-satu.

Ada sekelompok anak muda, mereka mendaftar menjadi prajurit kerajaan. Mereka diterima, lalu ditanya, "suruh siapa masuk kemari!!" kata para mayor tertawa. Beberapa tahun lagi mungkin anak muda ini melakukan hal yang sama, meludah dan mencaci para muda, Duh!

Agaknya kerajaan kecil ini dibuat ketika bercanda. Lawak, berlomba berlagak, berkata mereka yang paling berjasa, sudah banyak bekerja, dan melempar senjata pada sekelilingnya. Pada akhirnya, mereka tidak menghasilkan apa-apa.

Beberapa pembesar memeluk tahta, merahasiakan bagaimana mereka bekerja, tentu saja agar tetap duduk disana. Beberapa sibuk mengurut tangan robot mereka yang mulai menua karena bekerja menggila. Memohon tidak dilepar pada ujung pos jaga.

Ada bagusnya, beberapa kunang-kunang hinggap disana. Semoga mereka segera menjadi bintang, kerajaan ini butuh terang!


Cahya Bagus Mandalukita

3. #Kerandamerah



Aku berdiri di pinggir jalan, sejak tadi. Asap  mengambang, mengalungi senja seluruh kota. Sepertinya banyak kuda sedang bersantai. Berjalan berjingkat, setengah-setengah langkah sambil menikmati cerutu yang tak berhenti membuatku batuk, mereka berjingkat pelan-pelan, juga menghisap cerutu dengan pelan-pelan. Membuat mereka seperti sedang mengantre rumput dengan sangat santai. Aku kesal, jika aku sakit paru-paru, tak mungkin aku menyebut mereka dungu. Biasanya, orang-orang yang kukenal menyebut kata dungu berpasangan dengan keledai, bukan kuda. Jadi aku hanya diam, menutup mulut dengan jaketku yang sudah lusuh.

Sebuah keranda merah besar melintas,  keranda  yang beroda dan tak ditandu oleh manusia. Entah kenapa warnanya merah. Yang pasti keranda  itu mengangkut para prajurit yang sekarat. Mereka, semua prajurit itu terlihat sudah sangat lelah, menumpang pada kotak beroda ini untuk mencari arah pulang ke rumah.  Mana mungkin mereka masih dipaksa berperang. Panglima bisa marah besar, prajurit lelah seperti mereka hanya membuatnya kalah perang. Kulihat lengan mereka penuh luka, dengan wajah yang tak segagah ketika mereka pamit berangkat pada keluarga dengan bangga. Mereka seperti menanti kematian, umurnya akan habis pada langkahnya saat pulang. Aku naik ke atasnya, berlagak menjadi prajurit bernasib sama.

Prajurit-prajurit itu membuat keranda ini seperti penuh dengan mayat hidup. Mata mereka kosong, sepertinya  mereka rindu menimang bayinya yang baru lahir kemarin. Tapi ceritanya selalu sama, mereka tak pernah tega membangunkan seorang bayi  yang sudah tertidur saat mereka tiba. Lalu hanya melihat seorang malaikat kecil tertidur. Malaikat yang sudah lama tak merasakan debar jantung ayahnya.

Roda keranda merah ini berputar, tentu saja perlahan. Kuda-kuda tadi masih saja bersantai. Tak juga mengalah pada prajurit-prajurit yang sudah lelah. Sepertinya keranda merah ini menghisap kehidupan, di dalam sini aku mengantuk. Hanya saja  aku takut tidur, aku tak tahu apa yang akan terjadi jika tidur, bisa jadi aku makin jauh dengan rumah, atau malah tak akan kembali.

Kepulangan di kota ini dibayar mahal, uang tak punya  arti di sini. Alat tukar yang mengerikan kurasa. Mereka di kota ini menukarkan ruh, menjual hidup untuk tetap hidup.

Seorang anak kecil mulai berkeliling, menarik  upah. Anak kecil berbaju abu-abu. Rambutnya  merah, mungkin berdarah setelah kalah berkelahi dengan matahari. Tubuhnya kurus ceking, sesuatu yang tak pernah membuat dia peduli. Anak itu berjalan menyusuri lorong keranda, menarik ongkos pulang para prajurit yang sudah penuh luka. Dia membawa gentong kecil, dengan lubang yang menganga, ”untuk menghisap ruh,” katanya. Perjalanan pulang ini tak berongkos mahal, hanya dua jam kehidupan.

Bukan, tolong jangan menyebutnya kejam. Dia jauh dari kata kejam, memang begitulah cara hidup di sini. Dari caranya menarik mahar, kurasa dia cukup ramah. Sesimpul senyum selalu melekat pada pipinya yang coklat.  Setidaknya aku merasakannya, dia jauh lebih hangat daripada muka-muka datar para mayat  hidup yang menumpang pada kerandanya. Anak kecil itu bergelantungan pada tepi keranda, sejenak menghirup udara segar, mata kosong mayat-mayat hidup itu menyesakkan, jauh lebih menghimpit paru-paru daripada cerutu-cerutu kuda. Tangannya membuka gentong ruh yang sedari tadi ia gendong. Tangannya lincah menghitung ruh yang berhasil dia kumpulkan. Pas, tak ada yang berhutang.

Aku sejak tadi mengambil tempat di sisi paling belakang keranda. Rasanya tak penting juga mencari tempat di tengah para prajurit ini. Mereka hanya bisa diam, juga tak akan mempedulikanku. Kehilangan ruh membuat mereka mati, hanya panglima besar yang menyihir mereka agar tetap dapat berjalan. Awalnya kukira mereka seperti mayat hidup, sekarang kusimpulkan semua pikiranku adalah nyata, mereka benar-benar sudah mati.

Anak kecil bergentong tadi berjongkok di depanku, memberi punggungnya sebagai teman mataku menunggu sampai pada tujuanku, rumah. Menatapnya dari belakang membuatku bertanya, apa anak seperti ini masih menggilai buku? Semoga dia masih melahap buku dengan rakus.

Lalu aku  menyadari arti perkataanku. Ternyata tak semua hal yang biasanya dianggap buruk akan selalu berarti busuk.  Rakus dan tamak tak selalu buruk ternyata, jika dia (anak kecil itu) mampu menghabiskan semua buku di kota ini, akan ada waktunya dia akan menjadi pria yang membagikan seluruh buku yang dia makan pada dunia. Setitik harapan untuk kota mati seperti ini bukan?

Kota mati ini aneh Tuhan, susunan batu-batu yang dibuat manusia ini mampu menghidupkan rasa (milikku) dan mematikannya pada saat yang sama. Seorang bocah paruh baya dengan otak buntung baru saja masuk ke dalam keranda dan meminta-minta. Memaksa setiap mayat ini memberikan sisa ruh padanya. Sedang di luar sana, mataku tertarik pada seorang nenek remaja yang menarik gerobak sampah, setengah mati.

Kota ini menangis Tuhan, kukira  akan sama seperti biasanya, sesaat akan tenggelam. Meminta tolong pada kalian dengan mulutnya yang dijahit kawat. Terus memaksa bersuara, dan terluka. Tak ada yang bersedia mendengar, masing-masing terus sibuk menjual jiwa. Tegakah Kau membiarkan ini begini?

Jakarta, pada sebuah perjalanan pulang, hujan merintik setengah jalan. Beberapa orang menyebutnya metromini, aku menyebutnya keranda merah.

Cahya Bagus Mandalukita

Tuesday, April 22, 2014

Aku dan Benci yang Membatu


       Pada sebuah kampung jauh, hidup seorang aku. Aku kecil lahir sebagai bocah kaku dan malu-malu. Awalnya aku tak pernah membenci apapun di dunia ini. Tapi semua hal yang dialaminya membuat aku jadi seorang pembenci apapun.  Benci membenci ini dimulai saat aku mulai pengalaman pertamanya membaca. Aku tak mampu membaca beberapa kata, dan seorang wanita yang aku panggil dengan sebutan ibu tak mengijinkannya tidur. Setelahnya kamu bisa mengira perjalanan hidupnya. Aku benci membaca. Lalu dia membaca seluruh buku yang ada di rumahnya, hanya agar aku bisa secepatnya tidur.

Saat itu aku mulai meletakkan kaki pada umur belasan. Saat Ayahnya meletakkan tangannya dengan sangat keras pada ibunya, hampir wanita itu lantak. Hal yang membuatnya membenci ayahnya. Lalu setelah itu dia membenci dirinya sendiri, yang mau tak mau memiliki ayahnya dalam dirinya. Lalu dia mulai melakukan segala sesuatu berlawanan dengan semua yang dia ingat tentang seorang ayah. Berharap tak menjadi sesuatu yang dibencinya.
Aku benci pada keranda yang membawa pergi ibu keponakannya saat gadis kecil itu masih berumur lima tahun. Tapi aku yang penuh benci itu menyembunyikan semuanya dalam lambaian tangan kanan dan senyuman saat mengantarkan tubuh dingin itu pada peristirahatan, saat pipi-pipi lain di pemakaman itu tak lagi punya tempat untuk menampung airmata. Sedang tangan kirinya menggandeng keponakannya yang ikut tersenyum karena melihat aku tersenyum. Gadis kecil itu merasa harus tersenyum, mengikuti aku yang mengenakan senyum lebar sebagai pakaian tubuh penuh bencinya. 
Aku juga benci pak polisi. Dia berjaga pada perempatan lampu merah. Tempat di mana dia bertemu mata dengan seorang gadis yang melintas di depannya. Pak polisi galak itu melotot saat aku ingin mengejar gadisnya. Tentu saja, lampu merah itu melarangnya untuk belok ke kanan. Arah di mana gadis itu menuju. Sekarang aku bahkan tak pernah tau siapa nama gadis berhelm merah itu. Kali yang lain, jika bertemu gadis itu, aku berjanji tak akan lagi peduli apa kata mata pak polisi, pun mulut bulat lampu merah.
Aku membenci foto ibunya, sesuatu yang selalu dibawa dalam dompet kurusnya. Foto itu terus saja berdendang lagu-lagu rindu. Setiap malam gambar ibunya yang sedang tersenyum itu mengatakan bahwa senyum itu senjata kabut, untuk menyamarkan peluh dan kelu pada penglihatanmu. Foto itu hilang saat dompetnya kecurian beberapa bulan yang lalu. Sekarang aku masih berpikir, apa foto itu masih berdendang di sana, atau dompet kurus itu dibuang dengan kesal karena terlalu kurus untuk dipotong, lalu foto itu berdendang di pinggiran jalan di kota dekat?
Aku benci ini, benci itu, yang sebelah sana, sebelah sini juga. Tak ada hal yang luput dibenci olehnya bahkan aku membenci dirinya yang penuh benci. Dia begitu mencintai benci, seperti kamu yang membenci cinta. Aku suka mengaku benci, tapi dia benci mengaku-aku. Bagi dia semua yang bukan miliknya tak pantas dibenci. Begitu juga, orang lain tak boleh membenci aku jika mereka tak merasa bagian dari dirinya yang penuh benci. 
Aku hidup dengan membenci hidupnya, padahal hidup adalah sesuatu yang bahagia karena aku hidup. Atau aku sebenarnya tak benar-benar bahagia, atau aku tak pernah benar-benar membenci? Aku benci memikirkan aku yang masih juga benci.
Twitter Bird Gadget