Laki-laki itu selalu
ada di samping tempat tidurku!! Selalu di sana setiap tanggal tujuh, sejak empat
tahun yang lalu. Laki-laki dengan jaket hitam dan garis rambut yang seperti
jalan kutu, garis yang menurutku sangat mengganggu.
“Bangun bodoh!”
Masih kuingat, itu
yang pertama kudengar pada tanggal tujuh pertama kami. Bahkan asbak kaca yang
coba kuadu dengan kepalanya saat itu masih kusimpan. Lucu, benda yang sama
sekarang selalu menemani kami menghabiskan malam ke enam setiap bulan, benda
yang tak pernah berhasil melukainya. Tentu saja sudah berulang kali kucoba.
Hingga menyerah. Ya, dia pecandu tembakau dan aku masih belajar cara menghisap
lintingan. Asbak itu menjadi kelas kami sekarang, dia gurunya, dan aku adalah
murid yang setia.
***
Sekarang, setiap malam
tanggal enam aku tak pernah terpejam sebelum hari berganti. Sederhana, aku suka
dibangunkan dengan kecupan di pipi, dan sekali dia berkata suatu saat akan
membangunkanku seperti itu, dengan cara yang kusuka. Gila, aku tak mau dicium
laki-laki!
“Aku tak mau jadi
kamu, kamu hobi patah hati.” Katanya suatu kali.
Kuangkat asbak itu,
aku tak peduli intimidasiku ini sia-sia, aku tak suka kata-katanya. Dia juga
tak peduli ancamanku.
“Dan kamu bodoh,
sudah berapa kali kau coba bikin kepalaku remuk dengan asbak itu? bukannya kamu
sudah tau itu sia-sia? Ah, keledai saja tidak sepertimu.”
Diambilnya asbak
itu dari tanganku, lalu menjentikkan abu rokok ke dalamnya. Giliranku yang
makin kesal, bagaimana bisa dia memegang asbak itu sedangkan aku tak pernah bisa
menghantam kepalanya dengan benda yang sama, selalu tembus. Asbak itu lewat
begitu saja.
Aku bertanya
padanya. “kamu tidak pernah patah hati?”
“Pernah dua kali,
sekali karena kucingku mengingkari janjinya. Terakhir karena ibuku menikah
lagi.” Dia menghela nafas dua kali, asap putih keluar dari hidungnya. Terlihat
seperti banteng yang melihat warna merah, lucu. Tapi aku tak berani tertawa. ”Kucingku
mengeong sambil mengitari kakiku saat aku memintanya berjanji tak akan
meninggalkanku sendirian di rumah. Dua bulan kemudian dia kabur, dan tak pernah
kembali.”
“lalu kenapa kamu
patah hati karena ibumu menikah?”
PLAK!!
Kepalaku
ditempeleng, keras sekali.
“Bodoh, tentu saja
karena aku suaminya. Tak salah aku memanggilmu bodoh.” Jawabnya.
Brengsek, darimana
Tuhan punya ide menciptakan laki-laki kasar seperti ini.
“lalu apa kamu
masih patah hati?”
“tidak.”
“bagaimana bisa?”
“mudah saja, aku
tak suka kucingku meninggalkanku sendirian, jadi aku pergi dari rumah itu.
Sekarang setiap tanggal tujuh aku menemanimu disini.” lanjutnya. ”Seharusnya
aku sadar dari awal, kucingku itu belang tiga, hidung belang saja bajingan,
apalagi belang tiga.”
“Lalu ibumu?”
“bukan urusanmu.”
Biji kuda!!! Benar-benar
menjengkelkan pria yang satu ini, besok kutulis surat pada si Izrail. Biar dia
mencabut nyawa laki-laki brengsek ini.
“Terserahlah, kau
kira aku peduli? Kau ini tengik, selalu datang ke sini dan membuatku kesal.
Kenapa tidak berhenti saja menggangguku, hah?!” kunyalakan rokokku satu.”
Lagipula, aku tidak pernah memintamu datang kemari!” kutunjuk pula ujung
hidungnya dengan telunjuk kiriku, tangan yang biasa kupakai membasuh pantat.
“pantas saja gadis
itu pergi, kau pemarah.”
“Anjing, tau apa
kau? Kami sudah merencanakan pernikahan, perahu itu sebentar lagi akan kubuat
berlayar! Tapi dia pergi dengan laki-laki lain. Dia pengkhianat! Apa
alasanmu membelanya?”
“Dia pengkhianat?
Bukannya kamu juga? Kau tidak ingat gadis berambut ombak yang kau tinggalkan?
Tuanku di atas sana sungguh adil..” ujung bibirnya ditarik ke atas, mencibir. Dasar
laki-laki tengil.
“ya ya, aku memang
pengkhianat. Berarti gadisku itu kuadrat, dulu dia yang memilihku. Juga dengan
meninggalkan seseorang. lalu kenapa sekarang dia bahagia?” aku bertanya
padanya, mana bisa aku terima terus disalahkan seperti itu.
“Kau yakin dia
bahagia? Ya, doakan saja bahagia. Kenapa tak kau nikmati saja karmamu ini hah?
Kamu ini kena karma! Jangan merasa
paling menderita, dasar lemah.”
Sejujurnya aku juga
sadar, ini karma. Tapi cara laki-laki itu mengingatkanku tak seperti teman-temanku
yang penuh simpati. Caranya kasar, biarpun kuakui, dia benar.
“Baiklah, ini
karma. Lalu apa gadis pengkhianat kuadrat itu tak pantas menerima hal yang
sama. Kalau kau bilang Tuanmu itu adil, tunjukkan padaku, apa karma bagi gadis
seperti dia?”
“Kamu.” Giliran dia
yang menunjukku dengan tangan kirinya. Tapi dia memang kidal, kurasa dia
membasuh pantat dengan tangan kanannya. Jadi rasanya aku tak perlu tersinggung.
“Apa kamu tau kenapa diantara nama malaikat yang kamu hapalkan sejak kecil, tak ada malaikat yang ditunjuk Tuanku
untuk menentukan takdir?”
Terang saja aku
menggeleng. Dia gila, jika dia tak buru-buru menjawabnya sendiri, sudah kuminta
Djibril memberikanku wahyu lebih dulu.
“Dulu ada, Tuanku
itu sudah merencanakannya. Tapi kemudian dia bingung sendiri, tak tahu harus
memberikan hukuman apa jika malaikat itu mengarang takdir yang tak sesuai
dengan keinginannya. Jadi tuanku mengubah rencana, cahaya itu tak jadi
dihidupkan. Dia meletakkan ruh untuk cahaya itu pada tanah liat. Begitulah awal
adanya kamu” dia melanjutkan.” Karena itu, Tuanku memberimu ijin menentukan
beberapa takdirmu sendiri. Itu juga yang membuat Azazil iri.”
Aku tercengang.
“kau sudah gila.”
“terserah, aku tak
memaksamu percaya.”
“Sudahlah, kau
gila, dan aku mengantuk, sebaiknya kamu pulang.” aku merebahkan kepalaku di
atas bantal, dan dia masih saja merokok.
“aku minta kertas.”
Katanya sambil merobek satu halaman belakang kumpulan cerpen yang belum sempat
kubaca. Lalu dia mulai menulis. Kukira tak banyak kalimat yang dia tulis, karena
sebentar kemudian dia menyelipkan kertas itu di bawah bantal milikku.
“Kutulis sebuah
nama di sini. Jika kamu ingin bertemu dengannya, lanjutkan tidurmu. Jika tidak,
lekas-lekas kau pindahkan dari bawah bantalmu.” Aku sudah tak peduli. Kalimat itu
juga hanya kudengar samar-samar,”Aku tak mau dengar kamu memakiku tanggal tujuh
bulan depan, tentang apapun yang kau bikin jadi nasib kertas ini.”
Masa bodoh, dia
gila. Melantur. Kadang aku berpikir, jika aku terus menemuinya bisa jadi
keyakinanku pada Tuanku sendiri bakal belur. Lagipula mana mungkin Tuan bisa
bingung, Tuan Maha Benar yang bingung, rasanya aneh menyebut Tuanku begitu.
Tapi separuh ceritanya tak terlihat seperti kisah yang dipelintir. Apa
kenyataannya memang Tuanku sempat bingung? Persetan, aku mau tidur.
***
Demi sapi petelur!!
Bagaimana bisa ucapan ngawur itu membuatku tak bisa tidur. Mungkin kertas di
bawah bantal ini perkaranya. Sekiraku bukan satu nama yang sudah ditulisnya.
Mungkin semacam mantra pemanggil azazil. Atau jampi-jampi Jaga sukma yang disegel dengan darah. Ya.. ya.. Bisa
jadi seperti itu, bukankah tadi aku tak memperhatikannya saat menulis?
Jari-jariku
bergerak seperti ulat, menyusup ke bawah bantal. Meraba-raba kertas yang tadi
terselip di sana. Hingga telapak tanganku memeluknya, lalu mulai menggesernya
keluar dari bawah kepalaku.
Sialan, sekarang
aku benar-benar tak bisa tidur. Kuangkat kepalaku, lalu duduk di tepi dipan dan
mulai menimang-nimang kertas itu. Awalnya kukira dia hanya melipatnya. Tapi
kertas itu berbentuk sebuah perahu. Entah apa alasannya, dia sudah pergi. Biasanya kalau sudah pergi
dia benar-benar tak kembali sampai tanggal tujuh bulan depan.
Akhirnya kubuka
lipatan-lipatan kertas dari buku cerpen itu. Menebak-nebak nama siapa yang
tertulis di sana. Mungkin nama ibunya, atau kucing belang tiga miliknya. Atau
bisa jadi nama gadis pengkhianat kuadrat milikku. Atau malah benar-benar
jampi-jampi jaga sukma. Entahlah, sudah cukup dia membuatku kesal. Tanpa berada
di sini pun dia masih bisa mengerjaiku seperti ini. Benar-benar kurang ajar.
Aku menatap kertas
itu cukup lama setelah tulisannya dapat kubaca. Syukurlah, bukan mantra yang
tertulis di sana. Bisa jadi sebenarnya tulisan itu memang mantra, mungkin
memang seperti itu caranya membuat mantra. Setidaknya jika memang benar itu
mantra, rapalan itu tak menyeramkan buatku.
Nara Kailani.
Ini nama gadismu kan? Rinan, sekarang kamu tentukan
sendiri takdirmu, Sampai jumpa tanggal tujuh selanjutnya.
Tentu saja aku tak
bisa menentukan takdirku, dasar laki-laki idiot! Tapi aku bisa menentukan
takdir tulisanmu ini. Kertas itu akhirnya kubakar. Aku hanya ingin tidur.
Ah ya, dan aku
tidak ingin bertemu dengan gadis itu. kamu membaca ini kan? Hei, jangan
memasang tampang bingung seperti itu, iya kamu! laki-laki tanggal tujuh, kamu
membaca ini kan? Ini takdirku!