Pada akhirnya pembunuh paling ditakuti itu mati karena patah hati. Begitulah
akhir dari cerita ini. Sebagaimana cara yang umum dilakukan orang-orang untuk
mengenang, aku akan menceritakannya padamu. Kisah tentang seorang pembunuh yang
mencoba menjadi musuh Tuhan. Entah siapa namanya. Kejadiannya sudah terlalu
lampau, terjadi pada saat tidak ada satu hal pun diberi nama, tulisan belum
ditemukan, Adam dan kekasihnya bahkan belum turun ke dunia. Saat manusia
barangkali masih berwujud kera seperti yang dikatakan dalam teori Darwin yang
terkenal itu.
Cerita ini sebenarnya diabadikan pada kitab-kitab tua, dilukis pada
tembok-tembok gua. Di atas gunung yang telah rata di tempat yang sekarang
bernama Gurun Sahara. Gunung yang diratakan kaumnya karena katanya waktu itu gua-gua
dalam gunung itu berdindingkan sesuatu yang berkilau begitu silau. Rupanya sudah
sejak lama manusia silau oleh semua yang berkelip-kelip. Setelah gunung itu
rata, yang tersisa hanya pasir dan debu yang tak bisa dibedakan. Lalu bagaimana
aku bisa mengetahui semua itu dan menceritakannya padamu? Pembunuh itu datang seminggu penuh dalam
mimpiku. Bercerita dengan air terjun berhulu pada matanya, lolongan yang
menyedihkan keluar dari tenggorokannya.
“Kau menangis?”
Air terjun di matanya masih jatuh demikian keras. “Ada anjing di dalam
kepalaku, dia kencing lewat mataku. Dan melolong lewat tenggorakanku.”
“Semua pembunuh memelihara anjing dalam kepalanya?”
Pembunuh itu duduk bersila, menutupi wajahnya dengan kedua tangannya
yang masih berlumuran darah, “Tidak, hanya di kepalaku. Pembunuh-pembunuh di jamanmu
hanya memelihara tikus. Tikus-tikus yang mengerat leher orang lain dan lari
menghilang ke dalam selokan. Pengecut.”
“Terdengar seperti politisi.”
“Ya, seperti politisi. Bahkan jika kau menghilangkan salah satu suku
katanya mereka tetaplah pemelihara tikus.”
Aku terpingkal-pingkal menerjemahkan kata-katanya, sedang anjing-anjing
itu masih kencing demikian deras dari kedua ceruk matanya.
Pembunuh itu berpesan padaku untuk tidak jatuh cinta. Menikah tentu
saja hal yang berbeda, tapi jatuh cinta lain perkara. “Kau akan gila dibuatnya,
lalu kau hanya akan mempunyai dua pilihan. Menjadi pembunuh sepertiku, atau
dibunuh olehnya.” Begitu katanya.
“Aku tidak memelihara anjing dalam kepalaku.”
“Jadi kau politisi?” tanyanya.
Aku terdiam..
***
Aku adalah pembunuh. Lahir di keluarga pembunuh. Makan dan hidup dari
hasil membunuh. Darah pembunuh sudah demikian kental mengalir di dalam tubuhku.
Ayahku pemburu babi. Pembunuh babi. Kami tinggal di pinggir hutan yang jauh
dari kota. Sejak masih dalam kandungan aku telah mendengar ayahku bercerita ia hidup
tanpa rasa takut mati diterjang babi. Setiap mendengar cerita-cerita penuh
keberanian itu, aku berenang ke bawah rahim ibu dan mengetuk pintunya. Tidak
sabar untuk segera berlari dan mengikuti ayahku pergi berburu.
Saat aku masih merah, ayahku telah memperkenalkanku pada ajak-ajak,
anjing hutan, yang dijinakkannya untuk menemaninya berburu babi. Aku
diletakkannya di dalam kerumunan ajak, dan ajak-ajak itu mengendus-endusku,
menggelindingkanku dengan moncongnya yang coklat kehitaman, menjilati tanganku.
Aku meraung melolong-lolong seperti anjing dan ayahku tersenyum penuh
kebanggaan melihatku saat bayiku itu. Setelah berumur belasan aku baru
mendengarnya langsung dari ayah.
“Kau adalah tuan muda bagi mereka.” Kata ayah dengan mata berbinar.
Ayahku pembunuh babi gila. Ayah mana yang membiarkan anak bayinya dalam
resiko dikoyak taring anjing hutan?
“Mereka lebih setia dari perempuan manapun di dunia. Jika satu saja
berkhianat, maka gerombolannya akan mengoyaknya habis.” Ayah memegang pundakku
dan melanjutkan, “Kau harus percaya pada mereka jika ingin menjadi pemburu babi
hebat. Hanya mereka temanmu ketika berhadapan dengan babi besar di hutan gelap
sana.”
Dan kalau sampai waktu itu mereka berkhianat, tetap saja aku akan mati
bersama pengkhianat itu. Dengusku kesal pada ayah.
Cerita-cerita selanjutnya selalu mengenai hal yang sama. Tentang ayahku
yang tanpa takut memburu babi-babi besar
di dalam hutan juga keluhannya tentang pengepul daging babi satu-satunya di kota yang
memberi harga seenaknya. Mataku berbinar setiap mendengar sejarah luka-luka
terjangan babi di sekujur tubuhnya.
“Yang di pahaku ini akibat terjangan babi sebesar sapi remaja.
Taringnya sebesar lenganmu nak,” katanya menunjuk codet di pahanya, “kepalanya
kuletakkan di bawah kaki ibumu dan membuatnya jatuh cinta seketika.”
“Tidakkah kau takut mati
diterjang babi sebelum melihatku lahir ke dunia dulu?”
“Aku lebih takut kamu lahir sebagai babi. Sebab kalau itu terjadi mau
tak mau aku harus memburumu. Ajak-ajak itu tak akan bisa membedakan antara
anakku dan makanan mereka.” Katanya tertawa terbahak-bahak.
***
“Kenapa kau tidur di depan toko?
Kau lupa melipat rumah kardusmu?” Pembunuh itu bertanya padaku. Tentu saja di
dalam mimpi.
Aku menggeleng, “Tikus-tikus membongkar rumah kami. Mereka akan
membangun sarang tikus besar yang bertingkat-tingkat di sana.”
Tiga hari yang lalu rumahku memang dihancurkan oleh tikus-tikus itu. Mereka
naik buldoser besar dan menghancurkan rumah kami. Dua hari setelahnya ibuku tak
berhenti menangis. Hari ketiga air matanya kering dan tubuhnya panas, tapi
ibuku bilang dia kedinginan. Wanita itu menggigil hingga badannya bergetar. Aku
meletakkan koran bekas yang basah di keningnya. Tapi angin malam menggodanya dengan
begitu tidak tahu diri hingga lebih kencang ia terguncang. Aku sudah melepas
bajuku dan menyelimutkan padanya. Sia-sia, ibuku tetap menggigil hebat. Aku
duduk meringkuk tanpa baju di sebelahnya hingga aku tertidur sebelum akhirnya bertemu
lagi dengan pembunuh itu.
“Lalu untuk apa kaleng lem terbuka di sebelah tubuhmu itu?” Pembunuh
itu bertanya lagi.
“Kau telah mengembara sekian juta tahun tapi tak mengetahui ramuan
penahan lapar terhebat di dunia. Uangku hari ini hanya cukup untuk membeli
sebungkus nasi untuk ibuku dan sekaleng lem untuk menahan laparku selama tiga
hari.”
“Aku pembunuh, bukan penyihir,” katanya lagi, “Aku tidak pernah belajar
tentang ramuan-ramuan.”
“Ceritakan padaku tentang ibumu.”
“Ibuku anjing betina yang berkhianat. Ia pergi dari rumah untuk menikah
dengan babi dan mati dikoyak kawanannya sendiri.”
***
Ibu pergi ketika usiaku enam belas tahun. Aku dan ayahku tidak
menemukannya di rumah sepulangnya kami dari
berburu babi. Ibuku menghilang beserta seluruh pakaiannya dan membuat ayahku
limbung setengah mati. Ayah memungut kain lebar milik ibu satu-satunya yang
ditinggalkan di dalam rumah dan menyodorkannya ke moncong ajak kesayangannya.
“Cari istriku!” begitu ayah berteriak pada anjingnya.
Anjing itu segera berlari menjauh dari rumah dan ayah berlari
mengikutinya dari belakang. Ayah pergi selama seminggu dan pulang bersama
anjingnya tanpa membawa ibu pulang ke rumah.
“Mana ibu?” tanyaku pada ayah.
Ayah masuk ke rumah tanpa mempedulikan pertanyaanku. Tepat di depan
telingaku ayah berkata padaku, “Anggaplah ibumu sudah mati. Dia pergi untuk
menikahi babi.”
Ayah masuk ke rumah dan keluar
dengan golok di tangan kanannya. Ia pergi ke halaman dan mulai mengerat leher
ajak-ajak kesayangannya. Anjing-anjing itu dikuliti, dipotong-potong seukuran
telapak tangan lalu dagingnya dijemur setelah ditaburi garam. Entah apa yang
dipikirkan ayah membuat anjing asin semacam itu.
“Mulai hari ini aku berhenti jadi pemburu babi.” Kata ayah setelah
seminggu ayah hanya berdiam di rumah. Anjing-anjing asin itu cukup untuk makan
dua bulan ke depan.
Pada hari ke empat puluh ayah keluar dari kamarnya. Menenteng golok
dengan mata menyala seperti saat mengajakku berburu babi pertama kali. Sudah
kuduga, pemburu babi tidak akan tahan terlalu lama berdiam tanpa pergi ke hutan.
“Mau kemana?” tanyaku.
“Berburu babi,” katanya, “Kali ini kamu tidak boleh ikut. Pergilah ke
hutan. Carilah ajak-ajakmu sendiri. Jinakkanlah mereka dengan tanganmu. Jadilah
pemburu babi paling disegani.”
Ayah memberikan jubah kulit anjing, dan sebuah kalung taring anjing.
Keduanya berasal dari anjing yang
dagingnya kami makan selama empat puluh hari ini.
Seharian aku menunggu ayah
pulang ke rumah tapi ayah tak pernah kembali. Esoknya, saat embun masih angin
laut, aku masuk ke ujung hutan paling gelap. Menemukan ajak-ajakku sendiri, dan
memenuhi takdirku sebagai pemburu babi.
***
Ini malam ke enam setelah pertama kali pembunuh itu datang dalam
mimpiku. Pagi itu dengan muka sepucat susu ibu bercerita bahwa ia melihat pria
berpakaian putih dengan tangan berlumuran darah. Dengan sungai mengalir deras
dari ceruk matanya. Dengan suara melolong-lolong seperti anjing. Pria itu
berdiri di belakangku.
“Aku meihat dewa anjing.” Kata ibu lagi.
“Tuhan tidak menciptakan dewa anjing,” balasku.
“Berarti sebentar lagi aku mati. Berarti dia malaikat maut, dia datang
untuk menggigit leherku.”
“Malaikat tidak menggigit. Dia
datang untuk menjagamu.”
“Cukuplah kau yang menjagaku, nak.” Ibu tersenyum lalu terpejam. Koran
di keningnya sudah kering.
Lekas aku meringkuk. Aku ingin segera bermimpi dan memaki si pembunuh
karena membuat ibuku pucat pasi.
“Jangan menampakkan diri pada ibuku. Ibuku ketakutan!” entah darimana
keberanianku menghardiknya. Barangkali karena ini mimpi. Aku tidak bisa dibunuh
di sini.
Pembunuh itu tersenyum dengan hujan di matanya yang tak juga reda, “Hanya
orang sekarat yang bisa melihat hantu, nak. Ibumu sekarat.”
“Malaikat harus mencabut nyawaku dulu sebelum berani menyentuh ibu.”
“Atau setelah menjemput ibumu barulah dia mencabut nyawamu.”
Sekali lagi. Sekali lagi dia bilang ibuku sekarat akan kubunuh dia
sekali lagi. Aku akan jadi pembunuh hantu pertama di dunia.
“Aku butuh pertolonganmu.”
Beruntung baginya tidak mengatakan hal-hal tentang kematian ibu. Tanganku
sudah terkepal begitu kuat ingin memukulnya dari tadi.
“Kutitipkan anjing dalam kepalaku padamu. Mereka tidak bisa mengikutiku
masuk ke neraka.”
Sebelum sempat berkata apapun, anjing itu telah keluar dari kepala si
pembunuh dengan proses yang membuat perutku mual. Aku berkali-kali mengais sisa
makanan di tempat sampah restauran tapi tidak semenjijikkan itu. Moncongnya
coklat kehitaman dan selalu basah, liur menetes dari lidahnya yang menjulur-julur membuatku jeri sendiri.
Matanya hanya satu tanpa sempat kutanyakan sebabnya pada si pembunuh. Dia menghilang
begitu saja setelah anjing ini keluar dari dalam kepalanya.
Adegan yang terakhir kuingat sebelum terbangun hanya anjing itu
melompat ke arahku begitu tinggi. Menerkam dan membuatku terjengkang jatuh. Dia
menyusup ke dalam kepalaku melalui lubang hidungku.
***
Telah lima belas tahun aku menjadi pemburu babi. Telah lima belas tahun
juga aku sebatang kara. Ayahku tak pernah kembali dan ibuku -yang hanya
kudengar dari ayahku, menikah dengan
babi. Sepasang ajak yang kujinakkan, yang telah beranak pinak sebanyak dua puluh
ekor, tidak mengubah statusku sebagai sebatang kara. Aku telah dikenal seluruh
kota ini sebagai satu-satunya pemburu babi. Pemburu-pemburu yang dulunya teman
ayah sudah terlalu tua, dan anak-anak mereka tidak sudi menjadi pemburu babi. Mereka
sering memintaku datang ke ladang dan memburu babi-babi yang merusak tanaman
mereka. Kadang juga dipanggil ketika ada berita-berita emas mereka yang hilang
di dalam rumah.
Mereka tidak mempedulikanku yang terus berkata kalau babi tidak
tertarik pada benda-benda menyilaukan mata itu. Tapi ketika mereka terus mempercayai
bahwa babilah yang mencuri emas-emas mereka, pada akhirnya aku hanya terseyum. Toh aku cukup senang ketika mereka
memberikanku sekantung emas saat kubawakan kepala babi ke hadapan mereka.
Mereka senang, ajak-ajakku juga menikmati badan babi itu setelah kepalanya
kupenggal putus. Transaksi itu bagiku cukup menguntungkan. Apalagi sejak aku
tak lagi menjual daging babi pada pengepul satu-satunya di kota, daging babi
jadi barang mewah di kota. Mereka cukup senang dengan kepala babi. Kepala itu
cukup untuk membuat suatu perayaan sederhana. Harganya memang melonjak naik
setiap perayaan, dan aku satu-satunya yang memiliki daging-daging babi di
rumah.
Suatu pagi yang masih berkabut,
pagiku diganggu oleh kehadiran gadis yang mengetuk pintu rumahku. dia ingin
membeli daging babi untuk merayakan hari kematian ayahnya. Seketika aku
dibuatnya jatuh hati. Dan kali ini kuberikan dua kerat besar daging terbaik
cuma-cuma padanya.
“Siapakah namamu gadis cantik?” tanyaku sebelum dia pergi meninggalkan rumahku.
“Aku anak janda pengepul daging babimu dulu.” Jawabnya sambil berlalu.
Seharian aku dibuat tak tenang oleh bayangan wajahnya yang ayu. Matanya yang sayu, hidungnya yang
mungil, juga kulitnya yang sewarna mentega. Dia benar-benar mengingatkanku pada
ibu yang membuat ayahku jatuh cinta. Aku mengingat ayahku dan itu membuatku
gembira. Pertama karena ternyata kami memiliki selera gadis yang sama, kedua karena
mengingatnya membuatku menemukan cara mengambil hati gadis pujaanku itu.
Aku lekas pergi ke kandang anjing dan melepas sepuluh anjing terbaik
untuk mengikutiku masuk ke dalam hutan. Sekeluarku dari hutan, aku membawa
kepala babi sebesar sapi remaja dengan taring sepanjang setengah lengan. Sama
seperti ayahku dulu. Aku datang ke rumah pengepul babi itu dan melihat gadis
cantik yang sama memakai gaun merah
jambu berdiri di depan pintu. Kepala babi itu kuletakkan di bawah kakinya. Sama
seperti yang diceritakan ayahku. Berharap gadis itu seperti ibuku yang kemudian
jatuh hati.
Tapi gadis itu menggeleng.
”Ibuku tak mengijinkanku untuk menikah dengan pemburu babi. Kalau kau
memaksa menikahiku, masuklah dan temui
ibuku.”
Aku yang kepalang jatuh hati
mengangguk dan mengikuti gadis itu masuk ke rumahnya. Gadis itu masuk lebih ke
dalam dan memanggil ibunya.
Seorang wanita cantik keluar menemuiku. Kulitnya yang mulai keriput
hanya sedikit mengurangi kemilau pahatan Tuhan yang begitu sempurna. Kecantikan
yang diturunkannyalah yang membuatku begitu jatuh hati pada anak gadisnya.
Kecantikan yanng tak bisa kulupakan. Wajah yang begitu kukenali.
“Ibu?”
Wanita itu terdiam lama sekali, sebelum dia mengeluarkan suara yang
menyambar kepalaku, “Aku tak punya anak dari seorang pemburu babi yang membunuh
suamiku!”
Saat itulah ajak-ajak itu masuk ke dalam kepalaku. Seketika aku melihat
moncong babi tumbuh di hidung ibuku. Ekor babi bergoyang-goyang menggoda di
antara pantatnya. Maka secepat angin anjing-anjing dalam kepalaku melesat dan
menggigit leher wanita itu. Aku mendengar jeritan babi yang begitu pilu keluar
dari moncongnya.
“Anjing yang berkhianat tak ada bedanya dengan babi. Takdirmu harus
mati oleh kawananmu sendiri.” Kubisikkan itu di telinganya setelah tak kudengar
lagi babi betina itu memekik dijemput kematian.
Aku merasakan sesuatu yang begitu panjang masuk melalui punggungku.
Sesuatu yang kulihat menembus dada kiriku. Aku berbalik dan kudapati seekor
babi mengenakan gaun merah jambu menguik dan berlari menjauh setelah
menancapkan golok yang kubawa untuk memenggal kepala babi yang masih tergeletak
di teras rumahnya.
Sepertinya babi itu lupa, tidak
ada babi yang lebih cepat dari anjing pemburu. Anjing dalam kepalaku melolong
dan menancapkan taringnya hingga terdengar suara tulang leher babi yang patah.
Babi itu menguik pilu direnggut maut. Anjing-anjing itu melolong panjang. Di
dalam kepalaku.
***
Itu mimpiku yang terakhir tentang si pembunuh itu. Mimpi yang membuatku
bangun dengan tubuh basah keringat dingin dan nafas tersenggal-senggal. Aku
menoleh pada ibuku dan wajahnya masih sepucat saat melihat pembunuh itu di
belakangku. Matanya kosong terbuka, kulihat bibirnya membiru dan lehernya koyak
seperti digigit anjing. Aku menggguncang tubuhnya begitu keras dan tak kulihat
perlawanan apapun. Aku melolong keras, melepaskan seluruh anjing dalam
kepalaku.
Begitulah akhir kisah si pembunuh yang mati patah hati. Seluruhnya kuceritakan pada para
polisi itu. Tapi tak ada satupun yang percaya padaku. Mereka mendekatiku dan
kau tahu apa yang kulihat? Ada Tikus di atas kepala mereka.
nb:Tulisan ini dibuat untuk memenuhi #tantangannulis #BlueValley bersama Jia Effendie