Suatu
saat, seperti kamu, dan yang semua orang tau, aku juga akan meregang nyawa.
Setelahnya aku ingin menjadi kaos kaki. Bercengkrama dengan sepatu datar dan
mendengarkan cerita tentang setiap jingkat
langkahmu seharian. Atau menjadi
perilaku burukmu, yang sangat ingin kamu tinggalkan dan tak pernah mampu.
Menghantuimu dan tetap melihat senyum nyaman disana.
Aku
akan berada di sana, pada pemakamanku sendiri. Mata yang sayu tak mampu memenangkan perang melawan sudut
bibirku, memenjarakannya agar tak tersenyum saat melihatmu. Biar saja aku tak
mengerti penyebab kakimu mengantarkan sebuah hati mengunjungiku. Tanah
yang kamu injak, tak akan pernah tau apa yang kamu
kunci rapat dalam hati, simpan saja sendiri, tak akan kutanyakan. Mungkin
memastikan kematianku. Lalu aku bertanya
pada sebuah batu persegi di atas
pusaraku, tentang perihal kacamata hitam
yang kamu pakai saat itu. Air mata yang
tak perlu kamu sembunyikan sebenarnya sayang –jika kamu masih mengijinkan kematianku memanggilmu
begitu.
Aku akan mengunjungimu, seminggu sekali. Pada
mata ayah ibumu, pada sidik jari kekasih barumu, atau mungkin aku benar-benar
menjadi kaos kaki. Aku ingin mencintaimu diam-diam. Masih sama seperti yang
selama ini pernah kulakukan.
Kamu
seperti kebun belakang rumah masa
kecilku. Berlari telanjang
mengelilinginya dan malu tak pernah
singgah pada lutut, juga otakku. Atau mungkin saat itu mereka berdua hal
yang sama. Beberapa kali lututku – yang
mungkin juga otakku memerah
darah, dan mataku menangisinya. Tapi esoknya
aku kembali berkeliling, dan melakukan kebodohan yang sama.
Jantungku
pernah berdenting satu nada dengan langkah sepatumu yang terbang di sebelahku.
Aku sendiri melayang saat kamu mendengarkan denyut hatiku yang melenting
lewat jari-jari kita yang terjalin. Milikku sekarang berdegup
satu oktaf lebih tinggi, melengking sejak terakhir aku merasakan sesuatu
bernama cemburu.
Sekarang,
ada satu kala aku meriang aku menyebut sesuatu dengan nama sunyi, lalu aku memanggilnya
sepi. Sesuatu yang kusebut rindu saat kita berdua.
Kamu
seekor merak jantan betina, mendongak atas sesuatu yang bahkan tak kau lukis
sendiri. Mengumumkan pemenang sayembara atas seseorang yang sekiramu tak mampu
berjalan jauh. Kita mainkan saja permainan masa kecilku, dalam sebuah kotak,
dan kita diam berdua. Tak ada pemenang di dalamnya. Nyatanya kita
berdua kalah, dengan kamu berpikir
kakiku terjepit masa lalu.
Aku
bersumpah, pada setiap peluk yang kamu dekap, paduan suara jantungku mampir
pada telingamu. Aku bersumpah, pada setiap napasku yang kamu sesap dengan tak
sengaja, aku yang mengisi paru-parumu, juga
mendetak jantungmu, dan pada setiap jemari yang menjamah tubuhmu, kamu
melihat namaku pada setiap jejak yang ditinggalkannya. Aku menghantui, seperti
ikan remora.
Aku
menghitung satu, dua, tiga. Memotong jariku yang masih menguap walau dia
tak punya mulut. Hingga hitungan ke sebelas, menumbuhkannya lagi dengan
sekeluarga ludah yang memicingkan mata. Lalu aku melupakan apa yang kupenggal
pada hitungan kesebelas.
Mataku terbuka, dan sudah berjalan pelan-pelan, aku
masih mengantuk, ditabrak kenangan bukan pilihan yang ingin aku dapatkan. Tak
ada satu orangpun yang lari, kurasa
karena hanya kamu yang menghadiri kremasi ini.
Aku mati, hanya ingatanmu yang melihatnya begitu.
Cahya
Bagus Mandalukita
Noted:
kamu bertanya mengenai judul sajak ini?
ah alasannya sederhana kok, agar
google yang baik hati lebih mudah membantumu mencarinya.
0 comments :
Post a Comment