Wednesday, February 12, 2014

Jatuh Hati dan Zoey Deschanel



Suatu saat, seperti kamu, dan yang semua orang tau, aku juga akan meregang nyawa. Setelahnya aku ingin menjadi kaos kaki. Bercengkrama dengan sepatu datar dan mendengarkan cerita tentang setiap jingkat  langkahmu seharian.  Atau menjadi perilaku burukmu, yang sangat ingin kamu tinggalkan dan tak pernah mampu. Menghantuimu dan tetap melihat senyum nyaman disana.

Aku akan berada di sana, pada pemakamanku sendiri. Mata yang sayu  tak mampu memenangkan perang melawan sudut bibirku, memenjarakannya agar tak tersenyum saat melihatmu. Biar saja aku  tak  mengerti penyebab kakimu mengantarkan sebuah hati mengunjungiku. Tanah yang  kamu  injak, tak akan pernah tau apa yang kamu kunci rapat dalam hati, simpan saja sendiri, tak akan kutanyakan. Mungkin memastikan kematianku. Lalu aku bertanya  pada  sebuah batu persegi di atas pusaraku,  tentang perihal kacamata hitam yang kamu pakai saat itu.   Air mata yang tak perlu kamu sembunyikan sebenarnya sayang –jika kamu  masih mengijinkan kematianku memanggilmu begitu.

Aku  akan mengunjungimu, seminggu sekali. Pada mata ayah ibumu, pada sidik jari kekasih barumu, atau mungkin aku benar-benar menjadi kaos kaki. Aku ingin mencintaimu diam-diam. Masih sama seperti yang selama ini pernah kulakukan.

Kamu seperti kebun belakang  rumah masa kecilku.  Berlari telanjang mengelilinginya dan malu tak pernah  singgah pada lutut, juga otakku. Atau mungkin saat itu mereka berdua hal yang sama. Beberapa kali lututku – yang  mungkin juga  otakku memerah darah, dan mataku menangisinya. Tapi esoknya  aku kembali berkeliling, dan melakukan kebodohan yang sama. 

Jantungku pernah berdenting satu nada dengan langkah sepatumu yang terbang di sebelahku. Aku sendiri melayang saat kamu mendengarkan denyut hatiku yang melenting lewat  jari-jari kita  yang terjalin.  Milikku sekarang  berdegup  satu oktaf lebih tinggi, melengking sejak terakhir aku merasakan sesuatu bernama cemburu.

Sekarang, ada satu kala aku meriang aku menyebut sesuatu dengan nama sunyi, lalu aku memanggilnya sepi. Sesuatu yang kusebut rindu saat kita berdua.

Kamu seekor merak jantan betina, mendongak atas sesuatu yang bahkan tak kau lukis sendiri. Mengumumkan pemenang sayembara atas seseorang yang sekiramu tak mampu berjalan jauh. Kita mainkan saja permainan masa kecilku, dalam sebuah kotak, dan kita diam berdua. Tak ada pemenang di dalamnya.  Nyatanya kita  berdua  kalah, dengan kamu berpikir kakiku terjepit masa lalu.

Aku bersumpah, pada setiap peluk yang kamu dekap, paduan suara jantungku mampir pada telingamu. Aku bersumpah, pada setiap napasku yang kamu sesap dengan tak sengaja, aku yang mengisi paru-parumu, juga  mendetak jantungmu, dan pada setiap jemari yang menjamah tubuhmu, kamu melihat namaku pada setiap jejak yang ditinggalkannya. Aku menghantui, seperti ikan remora.

Aku menghitung  satu, dua, tiga.  Memotong jariku yang masih menguap walau dia tak punya mulut. Hingga hitungan ke sebelas, menumbuhkannya lagi dengan sekeluarga ludah yang memicingkan mata. Lalu aku melupakan apa yang kupenggal pada hitungan kesebelas.

Mataku  terbuka, dan sudah berjalan pelan-pelan, aku masih mengantuk, ditabrak kenangan bukan pilihan yang ingin aku dapatkan. Tak ada satu orangpun yang lari,  kurasa karena hanya kamu yang menghadiri kremasi ini.

Aku  mati, hanya ingatanmu yang melihatnya begitu.


Cahya Bagus  Mandalukita

Noted: kamu bertanya mengenai  judul sajak ini? ah alasannya sederhana kok, agar google yang baik hati lebih mudah membantumu mencarinya.

0 comments :

Post a Comment

Twitter Bird Gadget