Pada
sebuah kampung jauh, hidup seorang aku. Aku kecil lahir sebagai bocah kaku dan
malu-malu. Awalnya aku tak pernah membenci apapun di dunia ini. Tapi semua hal
yang dialaminya membuat aku jadi seorang pembenci apapun. Benci membenci ini dimulai saat aku mulai
pengalaman pertamanya membaca. Aku tak mampu membaca beberapa kata, dan seorang
wanita yang aku panggil dengan sebutan ibu tak mengijinkannya tidur. Setelahnya
kamu bisa mengira perjalanan hidupnya. Aku benci membaca. Lalu dia membaca
seluruh buku yang ada di rumahnya, hanya agar aku bisa secepatnya tidur.
Saat itu aku
mulai meletakkan kaki pada umur belasan. Saat Ayahnya meletakkan tangannya
dengan sangat keras pada ibunya, hampir wanita itu lantak. Hal yang membuatnya
membenci ayahnya. Lalu setelah itu dia membenci dirinya sendiri, yang mau tak
mau memiliki ayahnya dalam dirinya. Lalu dia mulai melakukan segala sesuatu
berlawanan dengan semua yang dia ingat tentang seorang ayah. Berharap tak
menjadi sesuatu yang dibencinya.
Aku benci pada keranda
yang membawa pergi ibu keponakannya saat gadis kecil itu masih berumur lima
tahun. Tapi aku yang penuh benci itu menyembunyikan semuanya dalam lambaian
tangan kanan dan senyuman saat mengantarkan tubuh dingin itu pada
peristirahatan, saat pipi-pipi lain di pemakaman itu tak lagi punya tempat
untuk menampung airmata. Sedang tangan kirinya menggandeng keponakannya yang
ikut tersenyum karena melihat aku tersenyum. Gadis kecil itu merasa harus
tersenyum, mengikuti aku yang mengenakan senyum lebar sebagai pakaian tubuh
penuh bencinya.
Aku juga benci
pak polisi. Dia berjaga pada perempatan lampu merah. Tempat di mana dia bertemu
mata dengan seorang gadis yang melintas di depannya. Pak polisi galak itu
melotot saat aku ingin mengejar gadisnya. Tentu saja, lampu merah itu
melarangnya untuk belok ke kanan. Arah di mana gadis itu menuju. Sekarang aku
bahkan tak pernah tau siapa nama gadis berhelm merah itu. Kali yang lain, jika
bertemu gadis itu, aku berjanji tak akan lagi peduli apa kata mata pak polisi,
pun mulut bulat lampu merah.
Aku membenci foto
ibunya, sesuatu yang selalu dibawa dalam dompet kurusnya. Foto itu terus saja
berdendang lagu-lagu rindu. Setiap malam gambar ibunya yang sedang tersenyum
itu mengatakan bahwa senyum itu senjata kabut, untuk menyamarkan peluh dan kelu
pada penglihatanmu. Foto itu hilang saat dompetnya kecurian beberapa bulan yang
lalu. Sekarang aku masih berpikir, apa foto itu masih berdendang di sana, atau
dompet kurus itu dibuang dengan kesal karena terlalu kurus untuk dipotong, lalu
foto itu berdendang di pinggiran jalan di kota dekat?
Aku benci ini, benci
itu, yang sebelah sana, sebelah sini juga. Tak ada hal yang luput dibenci
olehnya bahkan aku membenci dirinya yang penuh benci. Dia begitu mencintai
benci, seperti kamu yang membenci cinta. Aku suka mengaku benci, tapi dia benci
mengaku-aku. Bagi dia semua yang bukan miliknya tak pantas dibenci. Begitu juga,
orang lain tak boleh membenci aku jika mereka tak merasa bagian dari dirinya
yang penuh benci.
Aku hidup dengan
membenci hidupnya, padahal hidup adalah sesuatu yang bahagia karena aku hidup.
Atau aku sebenarnya tak benar-benar bahagia, atau aku tak pernah benar-benar
membenci? Aku benci memikirkan aku yang masih juga benci.
3 comments :
endingnya bikin terharu
Nice story, terutama di prolog-nya yang kupikir diambil dari sudut orang pertama, ternyata salah. Di sini dari orang ketiga ya? Benar apa tidak yo.
Iya..aku orang ketiga..sudut pandangnya orang ketiga serba tahu..:)
Post a Comment