Tuesday, April 22, 2014

Aku dan Benci yang Membatu


       Pada sebuah kampung jauh, hidup seorang aku. Aku kecil lahir sebagai bocah kaku dan malu-malu. Awalnya aku tak pernah membenci apapun di dunia ini. Tapi semua hal yang dialaminya membuat aku jadi seorang pembenci apapun.  Benci membenci ini dimulai saat aku mulai pengalaman pertamanya membaca. Aku tak mampu membaca beberapa kata, dan seorang wanita yang aku panggil dengan sebutan ibu tak mengijinkannya tidur. Setelahnya kamu bisa mengira perjalanan hidupnya. Aku benci membaca. Lalu dia membaca seluruh buku yang ada di rumahnya, hanya agar aku bisa secepatnya tidur.

Saat itu aku mulai meletakkan kaki pada umur belasan. Saat Ayahnya meletakkan tangannya dengan sangat keras pada ibunya, hampir wanita itu lantak. Hal yang membuatnya membenci ayahnya. Lalu setelah itu dia membenci dirinya sendiri, yang mau tak mau memiliki ayahnya dalam dirinya. Lalu dia mulai melakukan segala sesuatu berlawanan dengan semua yang dia ingat tentang seorang ayah. Berharap tak menjadi sesuatu yang dibencinya.
Aku benci pada keranda yang membawa pergi ibu keponakannya saat gadis kecil itu masih berumur lima tahun. Tapi aku yang penuh benci itu menyembunyikan semuanya dalam lambaian tangan kanan dan senyuman saat mengantarkan tubuh dingin itu pada peristirahatan, saat pipi-pipi lain di pemakaman itu tak lagi punya tempat untuk menampung airmata. Sedang tangan kirinya menggandeng keponakannya yang ikut tersenyum karena melihat aku tersenyum. Gadis kecil itu merasa harus tersenyum, mengikuti aku yang mengenakan senyum lebar sebagai pakaian tubuh penuh bencinya. 
Aku juga benci pak polisi. Dia berjaga pada perempatan lampu merah. Tempat di mana dia bertemu mata dengan seorang gadis yang melintas di depannya. Pak polisi galak itu melotot saat aku ingin mengejar gadisnya. Tentu saja, lampu merah itu melarangnya untuk belok ke kanan. Arah di mana gadis itu menuju. Sekarang aku bahkan tak pernah tau siapa nama gadis berhelm merah itu. Kali yang lain, jika bertemu gadis itu, aku berjanji tak akan lagi peduli apa kata mata pak polisi, pun mulut bulat lampu merah.
Aku membenci foto ibunya, sesuatu yang selalu dibawa dalam dompet kurusnya. Foto itu terus saja berdendang lagu-lagu rindu. Setiap malam gambar ibunya yang sedang tersenyum itu mengatakan bahwa senyum itu senjata kabut, untuk menyamarkan peluh dan kelu pada penglihatanmu. Foto itu hilang saat dompetnya kecurian beberapa bulan yang lalu. Sekarang aku masih berpikir, apa foto itu masih berdendang di sana, atau dompet kurus itu dibuang dengan kesal karena terlalu kurus untuk dipotong, lalu foto itu berdendang di pinggiran jalan di kota dekat?
Aku benci ini, benci itu, yang sebelah sana, sebelah sini juga. Tak ada hal yang luput dibenci olehnya bahkan aku membenci dirinya yang penuh benci. Dia begitu mencintai benci, seperti kamu yang membenci cinta. Aku suka mengaku benci, tapi dia benci mengaku-aku. Bagi dia semua yang bukan miliknya tak pantas dibenci. Begitu juga, orang lain tak boleh membenci aku jika mereka tak merasa bagian dari dirinya yang penuh benci. 
Aku hidup dengan membenci hidupnya, padahal hidup adalah sesuatu yang bahagia karena aku hidup. Atau aku sebenarnya tak benar-benar bahagia, atau aku tak pernah benar-benar membenci? Aku benci memikirkan aku yang masih juga benci.

3 comments :

Anonymous said...

endingnya bikin terharu

Unknown said...

Nice story, terutama di prolog-nya yang kupikir diambil dari sudut orang pertama, ternyata salah. Di sini dari orang ketiga ya? Benar apa tidak yo.

cahyabagus said...

Iya..aku orang ketiga..sudut pandangnya orang ketiga serba tahu..:)

Post a Comment

Twitter Bird Gadget